Selasa, 10 Mei 2016

LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK PERAH

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
PRODUKSI TERNAK PERAH









Disusun oleh :
KELOMPOK : III A

Akbar Tri Hatma                  23010113120007
Novia Sri Hapsari                  23010113120012
Elin Herlina                           23010113120030
Anindita Ariza                        23010113120039
Nunik Ita Varianti                23010113120046
Jumbriyadi                            23010111320107
Hendra R. Tamba                 23010111320128








PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
 


Judul                                     :            LAPORAN RESMI PRAKTIKUM PRODUKSI
                                                  TERNAK PERAH

Kelompok / Kelas                : TIGA / A

Program Studi / Jurusan    :  S-1 PETERNAKAN / PETERNAKAN  

Fakultas                                :            PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Tanggal Pengesahan           :            MEI 2015






Menyetujui,
Asisten Pembimbing




Andri Wibowo, S.Pt.
NIM. 23010111120026
Koordinator Umum Asisten




Syahrizal Bobi Kurniawan
NIM. 23010112140282


Mengetahui,




Drh. Dian Wahyu Harjanti
   NIP. 19801214 200501 1 00


KATA PENGANTAR
Segala puji Tuhan yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum produksi ternak perah ini.  Pada dasarnya laporan ini berisi tentang pengamatan fisiologi ternak dan fisiologi lingkungan sapi perah, anatomi biologis ambing, susu sapi dan recording sapi perah.
Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada asistan pembimbing yang telah membimbing kami baik dalam pelaksanaan praktikum maupun dalam penyusunan laporan praktikum.  Dosen Pengampu mata kuliah produksi ternak perah yang telah memberikan materi sebagai pedoman bagi kami dalam melaksakan praktikum ini, sehingga laporan ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya. 
Kami juga menyadari, bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami berharap kritik dan saran baik dari pembaca, dosen, asistan pembimbing maupun rekan-rekan yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi kami untuk pembuatan laporan yang akan datang.  Semoga Tuhan yang maha kuasa melimpahkan rahmat-nya bagi kita semua.  Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.


Semarang,     Mei 2015


Penulis

RINGKASAN

Kelompok IIIA. 2015. Laporan Resmi Praktikum Produksi Ternak Perah (Asisten : Syahrizal Bobi Kurniawan).

            Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 pukul 18.00 – 18.00 WIB di kandang sapi perah sedangkan materi Anatomi ambing dan Berat Jenis Susu dilaksanakan hari Rabu tanggal 22 April 2015 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
Materi yang digunakan adalah air, sapi perah nomer 2031, preparat awetan ambing sapi, susu segar, susu kemasan (Ultra Milk), narasumber, hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban, black globe untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, termometer klinis untuk mengukur suhu rektal sapi, tisu basah untuk membersihkan termometer klinis, stetoskop untuk mengukur denyut nadi sapi, stopwatch untuk mengukur waktu, nampan untuk wadah preparat, gelas ukur untuk wadah susu dan laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis susu.
Berdasarkan praktikum fisiologi lingkungan diperoleh hasil bahwa suhu dalam kandang 26,6ºC, suhu luar kandang 26,5ºC, kelembaban dalam kandang 73,9%, suhu luar kandang 75,0%, radiasi matahari 388,81 kkal m-2 jam-1  dan evaluasi perkandangan sudah baik. Fisiologi ternak  diperoleh hasil suhu tubuh 38,55ºC, denyut nadi 60 kali/menit, frekuensi nafas 36 kali/menit, jumlah konsumsi air minum 22,1 liter, frekuensi defekasi, 11 kali/hari, dan frekuensi urinasi 8 kali/hari. Recording sapi perah diperoleh hasil umur sapi 4,5 tahun dikawinkan dengan inseminasi buatan pada Februari 2014, dan sapi belum pernah terkena penyakit. Anatomi eksterior ambing teridiri dari outer wall, medial suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine, bulu, dan puting. Anatomi interior ambing terdiri dari alveoli, gland cistern, teat cistern, annular fold dan teat meatus. Setiap bagian memiliki fungsi masing-masing dalam pembentukan susu dan proses pengeluarannya Berat jenis susu segar 1,0297 dan susu olahan memiliki berat jenis 1,0216.

Kata kunci :    fisiologi lingkunga, fisiologi ternak, recording, anatomi biologis ambing, dan berat jenis susu.


Halaman

 
DAFTAR ISI




















DAFTAR TABEL

Halaman

 
1. Hasil Pengukuran Suhu, Kelembapan dan Radiasi Matahari 29
2. Hasil Pengukura Kandang 33
3. Hasil Pengukuran Suhu tubuh, Denyut Nadi dan Frekuensi Nafas 34
4. Hasil Pengukuran Konsumsi Air Minum 37
5. Hasil Pengamatan Urinasi dan Defekasi 38
6. Berat Jenis Susu 44











                                                 DAFTAR ILUSTRASI                          


Halaman

 
1. Kandang Tampak Dalam (Kiri) da Tampak Luar (Kanan) 33
2. Bagian-bagian Eksterior Ambing 39
3. Bagian-bagian Interior Ambing 40
4.  Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu. 43















DAFTAR LAMPIRAN


Halaman

 
1. Perhitungan Radiasi matahari) 52
2. Perhitungan Berat Jenis Susu 53
3. Dokumentasi Praktikum 54







 




BAB I

PENDAHULUAN

 

Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil susu.  Produktivitas ternak perah dipengaruhi kondisi fisiologi lingkungan yang meliputi  suhu udara, kelembapan, radiasi matahari yang mampu mempengaruhi kenyamanan ternak, serta kondisi fisiologi ternak meliputi suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi respirasi.  Recording berguna untuk memberi keterangan tentang individu sapi maupun secara keseluruhan sehingga membantu peternak dalam mengambil keputusan yang sifatnya teknis dan ekonomis.  Ambing merupakan karakteristik utama pada mamalia yang berasal dari kelenjar keringat yang ditutup oleh bulu kecuali pada bagian putingUji berat jenis susu dilakukan untuk mengetahui kualitas susu.
Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan hubungan antara fisiologi lingkungan dengan fisiologi ternak, mengenal dan mengetahui aspek-aspek rekording serta mengetahui anatomi ambing dan mengukur kualitas susu berdasarkan berat jenis.  Manfaat praktikum ini adalah praktikan dapat mengetahui cara pengukuran fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, rekording, anatomi ambing, dan pengukuran berat jenis susu.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.      Sapi Perah Frisian Holstein

            Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan persilangan antara sapi Friesian Holstein (FH) dengan sapi lokal Indonesia (Affandi, 2009).  Karakteristik pada sapi PFH adalah memiliki corak belang hitam putih atau merah putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk ambing seperti cawan dengan puting susu yang kecil dan bervariasi  teksturnya, pada dahi terdapat bulu putih yang berbentuk segitiga (Makin, 2011).

2.2.      Fisiologi Lingkungan Sapi Perah

Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas dari seekor ternak  antara lain  suhu udara, kelembapan udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Yani dan Purwanto, 2005).  Salah satu kendala yang mempengaruhi produktivitas sapi perah adalah suhu udara dan kelembapan udara (Arnold et al.,, 2013).

2.2.1.   Suhu Lingkungaan
Suhu lingkungan  di daerah perkembangan sapi perah Friesian Holstein berkisar antara 5°C - 15°C ( Yani dan Purwanto, 2005).  Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34°C dan menyebabkan penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan kualitas susu (Arnold et al.,, 2013). 

2.2.2.  Kelembapan
Negara tropis memiliki tingkat kelembapan udara rata-rata sebesar 60 – 90% (Yani et al.,, 2007).  Tingkat suhu udara dan kelembapan udara yang tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi peranakan Frisien Hollstein. (Arnold et al.,, 2013)

2.2.3.   Radiasi matahari
            Radiasi matahari adalah pemindahan panas suatu benda ke benda lain tanpa bersentuhan.  Arus panas radiasi mengalir tanpa bantuan bahan pengantar atau media dan dapat melewati ruang hampa udara.   Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77,38%.   Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada pukul 13.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam (Yani, 2007).   Sapi FH memiliki warna kulit hitam dan putih, umumnya warna putih lebih dominan dari warna hitam atau sebaliknya.   Dominannya warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih dapat menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%) (Wagner, 2001).

2.2.4.   Perkandangan sapi perah
            Perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi ternak.  Pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya (Sutarno, 2003).   Sistem perkandangan sapi perah ada dua jenis yaitu stanchion barn dan loose house.   Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan bergerak namun dengan batas-batas tertentu (Syarif, 2011).

2.3.      Fisiologi Ternak Sapi Perah

Suhu serta kelembapan udara merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi fisiologis sapi seperti frekuansi nafas (Yani dan Purwanto, 2005).  Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi frekuensi nafas, meliputi jenis ternak, bangsa, individu, umur, jenis kelamin dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara lain lingkungan, aktivitas dan tekanan (stress) serta suhu sekitar (Rumetor, 2003). 

2.3.1.   Suhu tubuh

Pengukuran temperatur rektal dimaksudkan untuk mengetahui temperatur dalam tubuh ternak.    Temperatur rektal akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan (Churng, 2002).  Suhu tubuh akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan (Rumetor, 2003).   

2.3.2.   Denyut nadi
Denyut nadi pada daerah comfort zone akan konstan tetapi apabila telah melewati batas tolerir comfort zone maka denyut nadi akan mengalami peningkatan (Frandson, 1992).  Frekuensi denyut jantung sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan.  Denyut nadi sapi PFH yang sehat pada daerah pemeliharaan yang nyaman (suhu tubuh 38,6oC) adalah 60 – 70 kali/menit (Ensminger, 1971).  Faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah konsumsi pakan, umur, aktivitas otot, kebuntingan, stress dan suhu udara (Budianto, 2012).

2.3.3.  Frekuensi nafas
Pernapasan merupakan suatu mekanisme dari rata-rata pengambilan oksigen(O2) ke dalam paru-paru dan mekanisme pengeluaran karbondioksida (CO2) dari paru-paru.  Pernapasan juga menyediakan O2 untuk darah dan mengambil CO2 dari darah (Dukes, 1995).  Fungsi lain dari pernapasan adalah membantu regulasi keasaman cairan ekstra seluler dalam tubuh, pengendalian suhu dan pembentukan suara.  Fungsi utama dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah.  Pernapasan terdiri atas dua proses penting yaitu proses inspirasi yang merupakan perbesaran thorax dari paru-paru disertai masuknya udara, dan proses ekspirasi yang merupakan penurunan dari ukuran dada disertai keluarnya udara (Frandson, 1996).  Frekuensi pernafasan sapi PFH di daerah tropis pada kondisi nyaman berada pada kisaran 31 kali per menit (Purwanto, 2004).  Perubahan frekuensi pernafasan sejalan dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk melepaskan panas.  Faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi pernapasan adalah ukuran tubuh, umur, gerak otot, temperatur lingkungan dan faktor yang disebabkan pengaruh terhadap suhu tubuh ternak yaitu dalam hal produksi panas tubuh
(Guyton, 1990).

2.3.4.   Konsumsi air minum
Konsumsi air minum untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari (Siregar, 1996). Sapi dara mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58-12,76% dari bobot badan pada kondisi lingungan tidak nyaman dengan suhu lingkungan malam hari sekitar 24oC dan siang hari 33,34oC.    Konsumsi air minum pada sapi ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu lingkungan, ukuran tubuh dan kelembapanlingkungan (Muljana, 1987).  Konsumsi air minum pada sapi perah pada lingkungan nyaman berkisar antara 3 - 3,5 liter/kilogram konsumsi bahan kering dan akan meningkat dalam kondisi cekaman panas.  Penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh.Meskipun secara umum keperluan air akan naik, hubungan konsumsi air yang dimunim oleh ternak dengan kenaikan suhu lingkungan belum tentu mengalami kenaikan (Yani dan Purwanto, 2005). 

2.3.5.   Frekuensi urinasi
Urinasi merupakan suatu yang dilakukan ternak dalam mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu dengan cara membuang urin atau cairan yang tidak bermanfaat lagi bagi tubuh (Akoso, 2008).  Sapi perah mampu berurinasi selama 24 jam sebanyak 3 kali sampai 19 kali.  Frekuensi urinasi seekor ternak dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi air minum pada sapi perah (Robichaud et al.,  2011). 

2.3.6.   Frekuensi defekasi
Standar frekuensi defekasi sapi perah selama 24 jam mengeluarkan feses sebanyak 6 sampai 8 kali dan mengeluarkan 8% dari berat badannya (Soetarno, 2003).  Pada ternak frekuensi urinasi dan defekasi sendiri dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan pakan.  Biasanya frekuensi urinasi dan defekasi akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika diwaktu makan (Embertson et al.., 2009).  Defekasi akan meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan (Vaughan et al., 2014). 

2.4.      Anatomi Biologis Ambing

Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir dan masing-masing kuartir memiliki 1 putting (Frandson et al., 2009).  Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir, setiap kuartir memiliki satu puting.  Ambing pada kuartir bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum suspensori medialis, sedangkan kuartir ambing bagian depan (cranial) dan kuartir bagian belakang (caudal) dipisahkan oleh membran.  Ambing bagian depan menghasilkan produksi sebesar 40%, sedangakan ambing bagian belakang mampu memproduksi susu 60% untuk setiap harinya.  Ambing pada hewan ternak khususnya sapi, kaya akan produksi susu, lemak susu, dan kaya protein dengan suplai dari darah sehingga penting bagi peternak untuk memahami cara kerja ambing (Nelson, 2010). 

2.4.1.   Perkembangan ambing
Pertumbuhan ambing dimulai 4-5 minggu setelah terjadi konsepsi (periode prenatal), lahir, dewasa (periode pubertas), pertumbuhan saat ternak bunting dan laktasi. Pertumbuhan ambing pada ternak mamalia sebelum fase kebuntingan berjalan lambat, tetapi pada saat ternak bunting pertumbuhan ambing sangat cepat dan mulai menurun pada saat laktasi (Lawrence dan Fowler, 2002).        Fase pregnant mare serum gonadorrophin (PMSG) merupakan salah satu fase dimana terjadi perangsangan timbulnya birahi serta menimbulkan superovulasi pada sapi perah betina., dan terjadinya superovulasi ini akan meningkatkan keberhasilan perkawinan. Pada periode kebuntingan perkembangan ambing mengalami pertumbuhan pesat karena peran aktif dari korpus luteum untuk menghasilkan hormon progesteron yang bersama-sama dengan estrogen dan laktogen plasenta mengatur pemanjangan dan perbanyakan sistem saluran kelenjar ambing (Sutopo, 2001). Pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus mengalami perubahan, pada sapi muda pertumbuhan system duktus terus berlangsung dan hasilnya akan terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir pada ambing semakin bertambah sebagian pada kuartir belakang sampai pada timbunan jaringan lemak masing-masing menyatu menjadi satu dan bergabung pada dasar bagian ambing, berat ambing pada anak sapi dan bergabung pada dasar bagian ambin, berat ambing apada anak sapi sampai pubertas terus meningkat kapasitasnya (Mukhtar, 1997).      

2.4.2.   Anatomi dan fisiologi ambing
            Ambing merupakan suatu kelenjar kulit yang sekelilingnya tertutupi oleh bulu, kecuali pada puting.  Ambing tampak seperti kantung yang berbentuk persegi empat yang terbagi menjadi dua bagian kiri dan kanan yang dipisahkan oleh satu lekukan yang memanjang disebut medial suspensory ligament.  Bagian ambing kanan dan kiri masing-masing dipisahkan menjadi dua bagian kuartir depan dan belakang oleh suatu membrane yang amat tipis disebut membrane vine.  Kuartir belakang merupakan bagian yang besar dan menghasilkan susu 60% dari total produksi sedangkan bagian depan 40% dari total produksi (Sangbara, 2011).  Bagian eksternal ambing antara lain medial suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine dan bagian internal ambing antara lain alveoli, milk ductus atau saluran susu, gland cistern, teat cistern, otot sfingter, annular fold, dan streak canal (Blakely dan Bade, 1994).  Alveoli merupakan struktur utama penghasil susu yang dilapisi oleh sel epitel.  Susu yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui sistem duktus menuju sinus lactiferous dan gland cistern untuk ditampung sebelum nantinya dikeluarkan melalui puting (Frandson et al., 2009).  Gland cistern merupakan tempat penampungan susu dari semua saluran, susu yang telah ditampung akan mengalir menuju teat cistern melewati annular fold yang didalamnya terdapat otot sfingter sebagai penahan susu di dalam ambing.  Streak canal yang ditutupi oleh otot sfingter merupakan pintu bukaan dair teat cistern sebelum keluar melewati teat meatus menuju ruang bebas (Blakely dan Bade, 1994).

2.4.3.   Pembentukan susu dan biosintesis susu
Di dalam tubuh sapi, air susu dibuat oleh kelenjar susu di dalam ambing.  Kelenjar susu tersusun dari gelembung-gelembung susu sehingga berbentuk seperti buah anggur yang disebut alveoli.  Dinding gelembung tersebut merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu yang  bahan baku pembentuknya adalah dari darah (Sangbara, 2011).  Biosintesis susu meliputi sintesis protein, sintesis lemak dan sintesis laktosa.  Bahan baku  untuk sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma protein, dan peptide.  Protein susu disintesis oleh ambing, sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan asam amino.  Proses sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol oleh gen-gen yang mengandung bahan genetik (DNA).  Sintesis protein susu meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA menjadi protein (Aisyah, 2011).  Pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang banyak terdapat pada hijauan, paling banyak diproduksi oleh mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian asam propionat.  Asam asetat langsung dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu.  Tiga puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa (Musnandar, 2011).

2.4.4.   Pengeluaran susu
Pengeluaran susu merupakan suatu reflek saraf yang dihasilkan oleh berbagai rangsangan.  Rangsangan yang diberikan pada ambing, akan mendorong hormon oksitosin untuk melepaskan susu keluar dari alveolus dan duktus–duktus kecil ke dalam tiap–tiap kuartir (Pujiati dan Indrianto, 2009).  Rangsangan syaraf seperti gerakan pedet menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air hangat  menyebabkan lubang puting susu terbuka sehingga air susu dari ruang kisterna mengalir keluar (Sangbara, 2011).  Rangsangan tersebut menyebabkan hormon oksitosin dari lobus posterior kelenjar pituitary dan masuk ke aliran darah.  Oksitosin mencapai ambing dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan alveolus dan salura-saluran kecil sehingga  susu akan terdorong keluar (Blakely dan Bade, 1994).


2.5.      Susu Sapi Perah



2.5.1.   Susu sapi perah
Susu sapi perah merupakan bahan pangan sumber protein yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang tinggi dan komposisi yang lengkap (Utomo dan Miranti, 2010).  Susu merupakan bahan pangan yang banyak disukai oleh masyarakat karena mempunyai kandungan nutrisi yang sangat lengkap antara lain lemak, laktosa, protein, mineral, vitamin dan enzim (Winarso, 2008). 

2.5.2.   Komponen susu
Komponen susu terdiri dari air, lemak, protein, laktosa, SNF (Solid Non Fat) atau bahan kering tanpa lemak dan Total Solid (TSL) (Winarso, 2008).  Komposisi susu terdiri dari 3,7 % lemak susu, 4,9% laktosa dan 3,5% protein, (Prasetya, 2012).  Kadar air dalam susu sebesar 87,5%, tingginya kadar air dalam susu terjadi karena air merupakan medium dispersersi lemak dan komponen yang larut dalam air susu, Komponen susu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan, umur sapi, iklim dan waktu pemerahan  (Utomo dan Miranti 2010).  Kandungan vitamin dalam susu adalah sebesar 2 mg/100 (Nurliyani, 2003). 




2.5.3.   Berat jenis susu
Berat jenis susu berbanding terbalik degan jumlah kadar lemak susu, jika kadar lemak susu tinggi maka berat jenis susu semakin rendah, begitu juga apabila kadar lemak susu rendah maka berat jenis susu meningkat (Mardalena, 2008).  Berat Jenis susu segar standar adalah sebesar 1,028 (Miskiyah, 2011).  Semakin tinggi TS (Totak Solid) dan berat jenis dan lemak yang terkandung dalam susu maka akan semakin tinggi kualitas susu tersebut.  Kualitas susu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan, lingkungan, ternak, dan umur ternak (Nurhadi, 2010).  Semakin lama penyimpanan susu, maka berat jenis susu semakin meningkat (Ismanto et al.,, 2013).  Susu yang telah mengalami penyimpanan maka mengalami fermentasi secara anaerob.  Bakteri dalam susu akan menggunakan laktosa dan kasein untukfermentsi menghasilkan asam laktat.  Semakin lama penyimpanan semakin banyak asam laktat yang terbentuk dan kandunga laktosa dalam susu semakin menurun (Sawitri, 2012). 

2.6.      Recording
Recording merupakan segala hal yang berkaitan dengan pencacatan terhadap ternak secara individu yang menunjukan pertumbuhan dan perkembangannya.  Tata cara recording yaitu dengan mencatat setiap kegiatan dan tingkah laku yang dilakukan oleh ternak dalam kehidupan sehari-hari.  Recording yang baik dilakukan pencatatan rutin setiap hari terutama ketika ternak mengalami perubahan pada produktivitas maupun reproduksi.  Recording dapat digunakan untuk mengetahui kualitas induk dan pejantan karena sangat berpengaruh terhadap keturunan yang dihasilkan (Susilowati dan Affandy, 2004)Recording merupakan sistem pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan lebih sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva produksi ataupun nilai pemuliaan (Indrijani dan Anang,  2002).













BAB III

METODOLOGI

Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 pukul 18.00 – 18.00 WIB di kandang sapi perah sedangkan materi Anatomi ambing dan Berat Jenis Susu dilaksanakan hari Rabu tanggal 22 April 2015 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1.      Materi

Bahan yang digunakan adalah air, sapi perah nomer 2031, preparat awetan ambing sapi, susu segar, susu kemasan (Ultra Milk) dan narasumber.  Alat yang digunakan dalam praktikum adalah hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembapan, black globe temperature untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur kandang, termometer klinis untuk mengukur suhu rektal sapi, tisu basah untuk membersihkan termometer klinis, stetoskop untuk mengukur denyut nadi sapi, stopwatch untuk mengukur waktu, nampan untuk wadah preparat, gelas ukur untuk wadah susu dan laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis susu.


3.2.      Metode


3.2.1.   Fisiologi lingkungan

3.2.1.1. Suhu lingkungan, metode yang digunakan dalam praktikum produksi ternak perah dengan materi suhu lingkungan adalah mengamati suhu lingkungan makro dan mikro menggunakan alat hygrometer, mencatat hasil pengamatan pada lembar laporan sementara. 

3.2.1.2. Kelembapan, metode yang digunakan dalam praktikum produksi ternak perah dengan materi kelembapan udara adalah mengamati kelembapan udara pada hygrometer dalam kandang dan luar kandang, mencatat hasil pengamatan pada lembar laporan sementara..

3.2.1.3. Radiasi matahari, metode yang dilakukan dalam pengukuran radiasi matahari adalah dengan cara membaca angka pada hygrometer yang terdapat pada black globe temperature, menghitung besar radiasi matahari dengan rumus  :
R=T4
Keterangan :
R         = Radiasi matahari (Kcal m-2 jam-1)
ᵟ           = Konstanta Stefann Boltzman (4,903x10-8)
T          = suhu mutlak dalam Kelvin (273 + 00C)
3.2.1.4. Perkandangan sapi perah, menggunakan metode pengamatan pada kandang secara langsung, dimana praktikan melakukan pengamatan mengenai kondisi kandang, mengukur panjang kandang, lebar kandang, tinggi kandang, tinggi atap luar, tinggi atap dalam, panjang tempat pakan dan minum, lebar tempat pakan dan minum, tinggi tempat pakan dan minum, kemiringan lantai, jarak kandang dengan pembuangan limbah, lebar dan tinggi pintu, gudang pakan, bak penampungan air, panjang selokan, lebar selokan, kedalaman selokan dan bahan pembuat atap dan lantai.

3.2.2. Fisiologi ternak

3.2.2.1. Suhu rektal, menggunakan metode mengukur temperatur tubuh atau pengukuran suhu rektal dengan cara memasukkan termometer klinis ke dalam rektum sapi hingga berbunyi yang menandakan suhu rektal sudah stabil, kemudian melihat angka yang ditunjukkan oleh termometer klinis.   Pengukuran suhu rektal dilakukan secara duplo atau dilakukan sebanyak dua kali.

3.2.2.2. Denyut nadi,  metode yang digunakan dalam pengukuran denyut nadi adalah melalui perabaan bagian denyut nadi pada bagian pangkal ekor sapi dengan menggunakan tangan dan merasakan denyut nadi sapi.  Perhitungan dilakukan dengan merasakan denyut nadi selama satu menit.
3.2.2.3. Frekuensi pernafasan, metode yang digunakan dalam pengukuran  frekuensi pernafasan dilakukan dengan tahapan melakukan handling sapi sehingga sapi tenang.  Mengukur kecepatan pernafasan dengan menempelkan telapak di dekat lubang hidung sapi perah, setiap tarikan dan hembusan nafas dihitung satu kali pernafasan.  Pengukuran dilakukan selama satu menit.

3.2.2.4. Konsumsi air minum, metode yang digunakan dalam pengukuran konsumsi air minum dilakukan dengan melalui mengisi cup air minum secara ad-libitum, mencatat waktu pengisian dan menghitung jumlah frekuensi pengisian.


3.2.2.5. Frekuensi urinasi, metode yang dilakukan dalam frekuensi urinasi dengan cara mengamati selama 24 jam dan mencatat waktu pada saat sapi perah mengeluarkan urin.

3.2.2.6. Frekuensi defekasi, metode yang dilakukan dalam frekuensi urinasi dengan cara mengamati selama 24 jam dan mencatat waktu pada saat sapi perah mengeluarkan feses.

3.2.3.   Anatomi biologis ambing

Metode yang dilakukan adalah menyiapkan preparat bambing sapi perah yang telah di awetkan, mengamati secara langsung ambing (awetan), mendiskusikan untuk mengetahui bagian-bagian ambing serta fungsinya dan memepersentasikan hasil pengamatan.



3.2.4.   Pengukuran berat jenis susu

Metode yang digunakan adalah menyiapkan susu segar dan susu UHT masing-masing 500 ml.  Menuangkan susu segar ke dalam gelas ukur 500 ml, yang sebelumnya susu dikocok terlebih dahulu supaya homogen.  Memasukkan laktodensimeter ke dalam gelas ukur dengan pelan-pelan dan hati-hati yang sebelumnya termometer pada laktodensimeter di tare terlebih dahulu.  Menunggu sampai laktodensimeter stabil dan membaca skala dan suhu yang ditunjukkan di permukaan susu.  Mencatat suhu dan berat jenis yang terukur dalam diktat pratikum. 
Menghitung berat jenis susu dengan rumus :
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) X 0,0002
Keterangan:
T = suhu terukur

3.2.5.   Recording
            Recording dilakukan dengan mewawancarai langsung kepada pak Marno sebagai penjaga kandang sekaligus narasumber mengenai pencatatan identitas sapi, produksi sapi, riwayat penyakit yang pernah diderita  dan riwayat keberhasikan reproduksi sapi.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.      Fisiologi Lingkungan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa salah satu faktor penentu kuantitas dan kualitas produksi susu pada sapi perah adalah lingkungan.  Faktor fisiologi lingkungan dalam hal ini meliputi suhu udara, tingkat kelembapan pada udara, dan radiasi matahari.  Menurut Yani (2005) faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas sapi perah meliputi suhu udara, kelembapan udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin.  Ditambah pendapat Arnold (2013) bahwa salah satu kendala yang mempengaruhi produktivitas sapi perah adalah suhu udara dan kelembapan udara.
Tabel 1.  Hasil Pengukuran Suhu, Kelembapan, dan Radiasi Matahari
No.
Jam
Suhu
Kelembapan
Radiasi Matahari
Dalam
Luar
Dalam
Luar


-----°C-----
-----%-----
--kkal m-2 jam-1--
1.
18.00
27,5
27,1
71,0
72,0
384,07
2.
24.00
25,5
25,0
80,0
80,0
381,49
3.
06.00
25,0
25,0
81,5
80,0
381,49
4.
12.00
28,0
27,9
65,0
68,0
405,14
5.
18.00
27,0
27,5
72,0
74,0
391,87

Rerata
26,6
26,5
73,9
75,0
388,81
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015. 


4.1.1.    Suhu lingkungan,
Berdasarkan tabel 1. diperoleh bahwa suhu lingkungan mikro sebesar 26,6°C dan suhu makro sebesar 26,5°C. Suhu lingkungan merupakan tingkat derajat panas yang diterima oleh tubuh hewan ternak, dalam hal ini adalah sapi peranakan Frisiean Holstein.  Suhu mikro adalah besarnya suhu yang berada di dalam kandang, sedangkan suhu makro adalah besarnya suhu yang berada di lingkungan luar kandang.  Tingginya tingkat suhu udara ini akan mengurangi kinerja sapi karena menyebabkan cekaman panas yang akan berimbas pada penurunan jumlah produksinya.  Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al.,  (2005) bahwa temperatur suhu di daerah asal sapi perah Friesian holstein adalah 5°C - 15°C.  Ditambahkan pendapat dari Arnold et al.,  (2013) bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34°C dan menyebabkan penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan kualitas susu.

4.1.2.   Kelembapan
Berdasarkan tabel 1. diperoleh hasil bahwa kelembapan udara merupakan besarnya uap air yang ada di udara bebas.  Tingginya kelembapan udara menyebabkan terjadinya cekaman panas pada hewan ternak dalam hal ini adalah sapi jenis peranakan Frisiean Hollstein.  Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa rata-rata kelembapan udara mikro dan makro adalah 73,9% dan 75%.  Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al.,  (2007) bahwa negara tropis memiliki tingkat kelembapan udara sebesar 60 – 90%.  Tingkat kelembapan yang tinggi akan mempengaruhi produktivitas sapi peranakan Frisien Hollstein.  Hal ini sesuai dengan Arnold et al.,  (2013) bahwa tingkat suhu udara dan kelembapan udara yang tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi peranakan Frisien Hollstein.

4.1.3.   Radiasi matahari
Berdasarkan tabel 1. diperoleh radiasi matahari tertinggi terjadi pada pukul 12.00 WIB yaitu sebesar 405,14 Kcal m-2 jam-1.   Pada kondisi ini sapi FH sudah mengalami cekaman panas, radiasi matahari secara langsung terhadap sapi perah FH yang mengakibatkan sapi tidak nyaman.   Hal ini sesuai dengan pendapat Yani (2007) yang menyatakan bahwa cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77,38%.   Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada pukul 13.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam.   Talib et al.,, (2002) mengatakan bahwa ternak dengan bulu yang pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur kulit yang halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari.   Wagner (2001) yang menyatakan bahwa sapi FH memiliki warna kulit hitam dan putih, umumnya warna putih lebih dominan dari warna hitam atau sebaliknya.   Dominannya warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%).

4.1.4.   Perkandangan
            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan sistem perkandangan di Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang dilihat dari aspek-aspek perkandangan sudah termasuk dalam kategori baik.   Hanya saja sanitasinya perlu ditingkatkan lagi.   Perkandangan merupakan suatu lokasi atau lahan khusus yang diperuntukkan sebagai sentra kegiatan peternakan yang didalamnya terdiri atas bangunan utama (kandang), bangunan penunjang (gudang pakan, kandang isolasi) dan perlengkapan lainnya.   Hal ini sesuai dengan pendapat Soetarno (2003) yang menyatakan bahwa perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi ternak.   Dalam pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya.   Ditambahkan oleh pendapat Syarif (2011) yang menyatakan bahwa sistem perkandangan sapi perah ada dua jenis yaitu stanchion barn dan loose house.   Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan bergerak namun dengan batas-batas tertentu.

Tabel 2.  Hasil Pengukuran Kandang
                        Parameter
Ukuran
Panjang Kandang (m)
12,6
Lebar Kandang (m)
8,2
Tinggi Kandang (m)
4,22
Panjang palung (m)
9,2
Lebar palung (cm)
55
Kedalaman palung (cm)
50
Tinggi palung (cm)
63
Panjang selokan (m)
9,43
Lebar selokan (cm)
26
Kedalaman selokan (cm)
8
Lebar  flock (cm)
199
Panjang flock (cm)
190
Tinggi flock (cm)
129
Kamar susu (m2)
10,56
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Ilustrasi 1.  Kandang Tampak Dalam (Kiri) dan Tampak Luar (Kanan)
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

4.2.      Fisiologi Ternak

Pengamatan fisiologi ternak sapi perah  meliputi pengukuran suhu tubuh, denyut nadi dan frekuensi nafas.   Menurut Yani dan Purwanto (2006) kisaran suhu tubuh normal pada sapi FH adalah 38,5 – 39,60C dengan suhu kritis 400C, kisaran normal denyut nadi  60 - 70 kali/menit dan rata- rata  frekuensi nafas tiap menit dalam keadaan istirahat adalah 20 kali.   Rumetor (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologis ternak, meliputi jenis ternak, bangsa, individu, umur, jenis kelamin dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara lain lingkungan, aktivitas dan tekanan (stress) serta suhu sekitar. 

Tabel 3.  Hasil Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut Nadi dan Frekuensi Nafas
No.
Jam
Suhu Tubuh
Denyut Nadi
Frekuensi Nafas


-----°C-----
----------kali/menit----------
1.
18.00
38,8
58
33
2.
24.00
38,55
57
31
3.
06.00
37,85
54
28
4.
12.00
38,8
66
52
5.
18.00
39,05
67
40

Rerata
38,55
60,8
36,9
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.


4.2.1.   Suhu tubuh
            Berdasarkan tabel 3. diperoleh rata-rata suhu tubuh 38,550C.   Hal tersebut sesuai standar normal yang dikemukakan oleh Palulungan et al.,, (2013) yang menyatakan bahwa suhu tubuh normal sapi perah FH sekitar 38 – 39,50C.   Hal ini menandakan bahwa indikasi stres panas yang dialami oleh sapi perah belum parah, kemungkinan stres panas tersebut telah cukup diantisipasi dengan sistem pengurangan panas oleh tubuh ternak.   Churng (2002) menyatakan bahwa beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin.   Pengukuran temperatur rektal dimaksudkan untuk mengetahui temperatur dalam tubuh ternak.   Rumetor (2003) menyatakan bahwa  temperatur rektal akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan.

4.2.2.   Denyut nadi
Berdasarkan tabel 3. diperoleh hasil bahwa rerata denyut nadi adalah sebesar 60,8 kali/menit.  Hasil ini masih tergolong dalam kondisi normal.  Hal ini sesuai dengan pendapat Ensminger (1971) yang menyatakan bahwa denyut nadi sapi PFH yang sehat dan baik pada daerah pemeliharaan yang nyaman (suhu tubuh 38,6oC) adalah 60 – 70 kali/menit.  Suherman et al.,, (2013) bahwa kisaran denyut jantung normal untuk sapi perah antara 50-80 kali/menit.  Faktor yang mempengaruhi frekuensi denyut nadi adalah suhu lingkungan.  Hal ini sesuai dengan pendapat Ensminger (1971) yang mengatakan bahwa perubahan suhu pada lingkungan kandang dapat memberikan pengaruh pada perubahan denyut jantung sapi PFH.

4.2.3.   Frekuensi nafas
            Berdasarkan tabel 3. diperoleh hasil bahwa rerata frekuensi nafas adalah sebesar 36,9 kali/menit.  Hasil ini menunjukan indikasi tidak normal dalam pemeliharaan sapi PFH.  Hal ini sesuai dengan pendapat Purwanto (2004) mengatakan bahwa frekuensi pernafasan sapi PFH pada pemeliharaan di daerah tropis pada kondisi nyaman kisaran 31 kali/menit.  Faktor yang mempengaruhi frekuensi nafas adalah suhu lingkungan dan  hal ini terlihat jelas pada frekuensi nafas pukul 12.00 dengan suhu 28oC yang mencapai 52 kali/menit.  Guyton (1990) mengatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi pernapasan adalah ukuran tubuh, umur, gerak otot, temperatur lingkungan dan faktor yang disebabkan pengaruh terhadap suhu tubuh ternak yaitu dalam hal produksi panas tubuh.

4.2.4.   Konsumsi air minum
Berdasarkan tabel 4. diperoleh hasil bahwa jumlah konsumsi air minum selama pemeliharaan satu hari adalah sebesar 22,1 liter.  Jumlah konsumsi air minum menunjukan nilai konsumsi air tergolong sangat rendah.  Jumlah konsumsi air dipengaruhi oleh faktor temperatur lingkungan dan cekaman yang terjadi pada ternak, penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh.  Siregar (1996) menyatakan bahwa konsumsi air minum untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari.  Ditambahkan Muljana (1987) menyatakan bahwa kelembapan udara, suhu lingkungan dan ukuran tubuh sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya jumlah konsumsi air minum pada sapi perah.




Tabel 4.  Hasil Pengukuran Konsumsi Air Minum
Pengisian ke-
Volume (L)
Jam Pengisian
1
1,3
18.46
2
1,3
21.30
3
1,3
00.15
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1,3
1,3
1,3
1,3
7,8
1,3
1,3
1,3
1,3
07.05
07.20
08.00
09.00
10.20
14.13
15.01
15.55
17.50
Total
22,1

Sisa
0

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.


4.2.5.   Frekuensi urinasi dan defekasi
 Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa frekuensi urinasi selama 24 jam sebanyak 9 kali, frekuensi urinasi selama 24 jam adalah normal karena dipengaruhi oleh lingkungan dan banyaknya air yang diminum oleh ternak tersebut.  Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al.,  (2011) menyatakan bahwa sapi perah mampu berurinasi selama 24 jam sebanyak 3 kali sampai 19 kali.  Frekuensi urinasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi air minum pada sapi perah.  Emberston et al.,  (2009) yang menyatakan bahwa hewan ternak frekuensi urinasi dan defekasi dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan pakan, biasanya frekuensi dan defekasi akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika waktu makan. 
Frekuensi defekasi selama 24 jam terjadi 11 kali defekasi, frekuensi defekasi tersebut adalah normal karena standar defekasi normal yaitu 3 – 18 kali dalam sehari.  Hal ini dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan pemberian pakan.  Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al.,  (2011) yang menyatakan bahwa frekuensi defekasi selama 24 jam pada sapi perah terjadi sebanyak 3 sampai 18 kali dalam sehari, frekuensi defekasi yang lebih rendah dari normal disebabkan karena suhu lingkungan yang cukup tinggi sehingga ternak akan banyak minum.  menurut pendapat Vaughan et al.,  (2014) yang menyatakan bahwa defekasi akan meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan. 

Tabel 5.  Hasil Pengamatan Urinasi dan Defekasi
No.
Waktu Urinasi
Waktu Defekasi
1.
20.14
20.14
2.
22.07
22.01
3.
03.12
01.30
4.
08.20
07.05
5.
10.30
08.00
6.
10.53
09.55
7.
14.44
11.50
8.
15.49
12.10
9.

12.26
10.
11.

15.51
17.10
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

4.3.      Anatomi biologis ambing

            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa anatomi ambing terdiri dari anatomi eksterior dan interior. Anatomi eksterior ambing terdiri dari outer wall, medial suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine, bulu, dan puting. Anatomi interior ambing terdiri dari alveoli, gland cistern, teat cistern, annular fold dan teat meatus.
            Ilustrasi 2. Bagian-bagian Eksterior Ambing
1430326620636.jpg
1430326623340.jpg
6
 
5
 
4
 
3
 
2
 
1
 
Keterangan
1. Outer wall
2. Bulu
3. Puting
4. Medial suspensory ligament
5. Membran vine
6. Lateral suspensory ligament

            Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa ambing terbagi menjadi 4 kuartir. Kuartir kanan dan kiri dibatasi oleh medial suspensory ligament yang membagi kuartir kanan dan kiri menjadi simetris. Kuartir depan dan belakang dibatasi oleh membrane vine. Lateral suspensory ligament berfungsi untuk menempelnya ambing pada ambdomen. Bagian terluar ambing terdapat outer wall yang berfungsi melindungi ambing, bagian luar bulu kecuali pada puting yang berfungsi untuk pengaturan suhu ambing dan proteksi terhadap bakteri yang masuk ke ambing, dan puting untuk pengeluaran susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa ambing terbagi menjadi empat kuartir yang masing-masing berfungsi memproduksi susu secara mandiri. Sangbara (2011) menambahkan bahwa ambing sapi perah terbagi menjadi dua bagian yaitu ambing kiri dan ambing kanan yang oleh membrane yang tebal yang disebut medial suspensory ligament. Ambing kiri dan kanan masing-masing terbagi menjadi dua kuartir yaitu kuartir depan dan kuartir belakang yang setiap kuartir mempunyai satu puting susu.
Ilustrasi 3. Bagian-bagian Interior Ambing
20150426_151916.jpg
4
 
5
 
2
 
3
 
1
 
7
 
6
 
Keterangan
1. Alveoli
2. Milk ductus
3. Gland cistern
4. Teat cistern
5. Annular fold
6. Streak canal
7. Teat meatus
            Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa bagian-bagian interior ambing terdiri dari alveoli, lumen, myoepithel, gland cistern, teat cistern, annular fold, streak canal dan teat meatus. Alveoli berfungsi sebagai struktur utama penghasil susu, kumpulan dari alveoli disebut lobulus, dan lobulus yang bersatu disebut lobus. Lumen berfungsi sebagai tempat awal penampungan susu, setelah ditampung pada lumen susu kemudian ditampung pada gland cistern,dan sebelum dikeluarkan melalui puting susu terakhir ditampung pada teat cistern. Myoepithel berfungsi untuk menyerap nutrisi dari darah menuju sel sekretoris ambing. Annular fold mengatur terbuka dan tertutupnya teat meatus sebagai tempat keluarnya susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa susu disekresikan oleh unit sekretoris yang disebut alveoli, alveoli terdiri dari suatu lapis dalam sel-sel epitel yang menyelubungi suatu rongga yang disebut lumen. Sel epitel menyerap zat-zat darah dan mensintesisnya menjadi susu.
Pembentukan susu dan biosintesis susu pada ambing diproduksi di alveoli oleh kelenjar susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusdiana dan Sejati (2009) yang menyatakan bahwa di dalam ambing terdapat kumpulan alveoli yang memiliki kemampuan untuk memproduksi susu. Susu yang diproduksi alveoli akan meningkat apabila ambing dalam keadaan kosong, sebaliknya susu yang diproduksi alveoli akan menurun apabila ambing telah terisi penuh. Biosintesis susu yang terjadi pada ambing meliputi biosintesis protein, lemak dan laktosa. Hal ini sesuai dengan pendapat Aisyah (2011) yang menyatakan biosintesis susu meliputi sintesis protein, sintesis lemak dan sintesis laktosa. Bahan baku  untuk sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma protein, dan peptide. Protein susu disintesis oleh ambing, sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan asam amino. Proses sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol oleh gen-gen yang mengandung bahan genetik (DNA). Sintesis protein meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA menjadi protein. Musnandar (2011) menambahkan pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang banyak terdapat pada hijauan, paling banyak diproduksi oleh mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian asam propionat. Asam asetat langsung dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu. Tiga puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa.
 Pengeluaran susu yang telah diproduksi ambing berawal dari rangsangan yang menyebabkan puting terbuka. Rangsangan yang diterima sapi dapat diterima dari indera peraba, pengelihatan, dan pendengaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Sangbara (2011) yang menyatakan bahwa rangsangan syaraf seperti gerakan pedet menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air hangat  menyebabkan lubang puting susu terbuka sehingga air susu dari ruang kisterna mengalir keluar. Air susu mengalir melalui saluran-saluran halus dari gelembung susu ke ruang kisterna dan ruang puting susu. Pujiati dan Indrianto (2009) menyatakan bahwa rangsangan yang diberikan pada ambing, akan mendorong hormon oksitosin untuk melepaskan susu keluar dari alveolus dan duktus–duktus kecil ke dalam tiap–tiap kuartir.

Ilustrasi 4.  Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu
 












           
 










4.4.      Berat Jenis Susu


Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 6.  Berat Jenis Susu
No
Parameter
Susu Segar
Susu Olahan
1.
Waktu Pemerahan
05.00 WIB
-
2.
Jumlah Susu (ml)
450
500
3.
BJ susu
1,0297
1,0216
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015. 


            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa berat jenis merupakan salah satu uji yang digunakan untuk menentukan kualitas dari susu.  Susu segar memiliki berat jenis susu sebesar 1,0297, sedangkan susu UHT memiliki berat jenis sebesar 1,0216. Berat jenis susu segar berada diatas standar, sedangkan berat jenis susu UHT berada dibawah standar.  Hal ini sesuai dengan pendapat Miskiyah (2011) yang menyatakan bahwa standar berat jenis susu standar sebesar 1,028.  Susu segar memiliki berat jenis lebih besar dibandingkan dengan susu UHT karena kemungkinan total solid (lemak) pada susu segar lebih rendah dibandingkan dengan susu UHT yang telah mengalami pengolahan.  Semakin tinggi kadar lemak yang terkandung, akan menyebabkan berat jenis susu semakin menurun.  Hal ini sesuai dengan pendapat Mardalena (2008) yang menyatakan bahwa  berat jenis susu berbanding terbalik degan jumlah kadar lemak susu, jika kadar lemak susu tinggi maka berat jenis susu semakin rendah, begitu juga apabila kadar lemak susu rendah maka berat jenis susu meningkat.  Hal tersebut diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ismanto et al.,  (2013) yang menyatakan bahwa semakin lama penyimpanan susu, maka berat jeni susu semakin meningkat.

4.5.      Recording

 

            Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh data bahwa sapi no.  2031 berjenis kelamin betina, berumur 4,5 tahun.  Awal laktasi bulan Oktober memproduksi susu 94 liter, bulan November memproduksi 89 liter, bulan Desember memproduksi 73,5 liter dan bulan Januari memproduksi 98 liter dengan rata-rata produksi 34 liter/hari.  Pada tanggal 3 Februari 2014 pernah sukses melakukan Inseminasi Buatan dengan no.  straw dan bangsa 306055 / 1000, asal straw Ungaran, Inseminator 7248.  Sapi perah yang berada di kandang Fakultas Pertenakan dan Pertanian menggunakan recording yang belum baik, semua data yang dimiliki mengenai ternak tidak dilakukan pencacatan dengan rapi, sehingga data yang diperoleh belum valid.  Pencacatan identifikasi pada ternak perlu dilakukan dengan mencatat semua data dan informasi yang bersangkutan dengan sapi tentang nomor dan nama ternak, nomor registrasi, tanggal lahir dan jenis kelamin.  Hal ini sesuai dengan pendapat Susilowati dan Affandy (2004) yang menyatakan bahwa recording merupakan pecatatan kegiatan yang terdiri dari silsilah keturunan, produktivitas, reproduksi dan kesehatan reproduksi ternak.  Indrijani dan Anang (2002) menambahkan bahwa recording merupakan salah satu sistem pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan lebih sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva produksi ataupun nilai pemuliaan.




















BAB V

SIMPULAN DAN SARAN


5.1.      Simpulan

Fisiologi lingkungan akan berpengaruh pada fisiologi ternak.  Lingkungan yang panas membuat ternak tidak nyaman sehingga mempengaruhi keadaan fisiologisnya yang berpengaruh terhadap produksi susu baik kualitas maupun kuantitasnya.  Selain fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, perkandangan yang baik akan memberikan kenyamanan bagi ternak sehingga produktivitas ternak dapat maksimal.  Berat jenis susu menentukan kualitas baik buruknya susu. 

5.2.      Saran

Praktikum yang dilakukan seharusnya preparat ambing yang digunakan  diperbanyak sehingga praktikan dapat lebih mengerti tentang anatomi ambing, sanitasi kandang perlu ditingkatakan lagi, agar produksi sapi perah dapat meningkat.




DAFTAR PUSTAKA

Affandi, A.  A.  2009.  Pengaruh Umur Terhadap Heat Tolerance Coeefficient dan Pertambahan Bobot Badan dengan Pemberian Pakan Serat Kasar Rendah pada Sapi PFH Jantan (Peranakan Friesian Hollstain Jantan).  Universitas Brawijaya,  Malang. (Skripsi).

Aisyah ???

Arnold, J.  Palulungan, Adiarto, dan Tetik Hartatik.  2013.  Pengaruh Kombinasi Pengkabutan dan Kipas Angin Terhadap Kondisi Fisiologis Sapi Perah Peranakan Friesian Holland. Buletin Peternakan. 37 (3) : 189-197. 

Blakely 1994???????????

Budianto, A. 2012. Respon Pertumbuhan Sapi Peranakan Fries Holstein (PFH) Jantan Terhadap Pemberian Berbagai Aras Ampas Bir dalam Pakan Konsentrat. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis).

Churng-faung lee.  2002.  Feeding management and strategies for lactating dairy cows under heat stress.  International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle.  Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Dukes, H.  1995.The Physiology of Domestic Animal 7th edition.  Comstock Publishing, Denville.

Embertson, M.  N.  M., P.  H.  Robinson, J.  G.  Fadel and F.  M.  Mitloehner.  2009.Effects of shade and sprinklers on performance, behavior, physiology,and the environment of heifers.  J.  Dairy Sci.  92 : 506 – 517.

Ensminger, M.E.  1971.  Dairy Cattle Science.  The Interstate Printers and Publisher.  Inc.  Danville,Illinois.

Frandson, R.D.  1992.  Anatomi dan Fisiologi Ternak.  Edisi ke-4.  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Frandson, R.  D., W.  L.  Wilke and A.  D.  Fails.  2009.  Anatomy and Physiology of Farm Animals.Wiley-Blckwell,  Lowa.

Indrijani, H dan Anang, A. 2002. Evaluasi genetic produksi susu pada sapi perah dengan model regresi tetap. J. Ilmu Ternak. 1  : 45-50

Ismanto, Toto., S.  Utami dan H.  A.  Suratim.  2013.  Pengaruh lama penyimpanan dalam refrigator terhadap viskositas susu kambing pasteurisasi.  J.  Ilmiah Peterakan.  1 (1): 69 - 78.

Lawrence, T.L.J. and V.R. Fowler. 2002. Growth of Farm Animals. CABI Publishing. Oxfordshire.

Makin, Moch.  2011.  Tata Laksana Peternakan Sapi Perah.  Graha Ilmu, Yogyakarta.

Mardalena, 2008. Pengaruh wakru pemerahan dan tingkat laktasi terhadap kualitas susu sapi perah peranakan Fries Holstein. J. Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan 11 (3) : 107 – 111.

Miskiyah. 2011. Kajian Standar Nasional Indonesia Susu Cair di Indonesia. J. Standarisasi. 13 (1) : 88 - 98

Muktar, A. 1997. Ilmu Produksi Ternak Perah. Universitas Negeri Surakarta Press, Surakarta.

Musnandar???

Nelson, M.  G.  2010.  The Complete Guide to Smallscale Farming: EverythingYou Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,and Other Small Animals.  Atlantic Publishing Company, Florida

Nurhadi, M.  2010.  Dimensi sosiologis dalam upaya meningkatkan kualitas susu sapi perah (Studi Kasus di KUD Jatinom, Kabupaten Klaten).  Jurnal Sosiologi.  25 (2): 79 - 90.

Palulungan, J.  A., Adiarto dan Hartatik.  T.  2013.  Pengaruh kombinasi pengkabutan dan kipas angin terhadap kondisi fisiologis sapi perah Peranakan Friesian Holstein.  Buletin Peternakan.  37 (3) : 189 – 197.
Prasetya H.  2012.  Prospek Cerah Beternak Sapi Perah. Pustaka Baru Press, Yogyakarta.
Pujianto ???

Robichaud, M.V., A.  M.  de Passillé, D.  Pellerin and J.  Rushen.  2011.  When and where do dairy cows defecate and urinate.  J.  Dairy Sci.  94:4889 – 4896.

Rumetor, S.D.  2003.  Stres Panas Pada Sapi Perah Laktasi.  Makalah Falsafah Sains.  Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rusdiana dan sejati 2009
Sangbara ??/

Sawitri M.E.  2012.  Kajian konsentrasi kefir grain dan lama simpan dalam refrigerator terhadap kualitas kimiawi kefir rendah lemak.  Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan.  2 (1) :89-99.

Soetarno, T.  2003.  Manajemen Budidaya Sapi Perah.  Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Susilowati, T.  Dan Affandy, L.  2004.  Tantangan dan Peluang Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Teknologi Reproduksi.  Lokakarya Nasional Sapi Potong.

Suherman, D., Purwanto, B. P., Manalu, W dan Permana. 2013. Simulasi artificial Neuwork untuk menentukan suhu kritis pada sapi Fries Holland berdasarkan respon fisiologis. J. Ilmu Ternak dan Veteriner 18 (1) : 70 – 80.

Sutopo. 2001. Pengaruh Pemberian Pmsg Terhadap Pertumbuhan Ambing Ban Prqeiiukse Susu Pada Sapi Perah. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis)
Syarif dan H.  Bagus.  2011.  Beternak dan bisnis sapi Perah. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Talib, C. H., T.  Sugiarti and A. R.  Siregar.  2002.  Friesian Holstein and their adaptability to the tropical environment in Indonesia.  International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle.  Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Utomo, B dan Miranti, D.  P.  2010.  Tampilan produksi susu sapi perah yang mendapat perbaikan manajeman pemeliharaan.  Caraka Tani.  25 (1): 55 - 67.

Vaughan Alison, Anne Marie de Passillé, Joseph Stookey, and Jeffrey Rushen.  2014.  Urination and defecation by group-housed dairy calves.  J.  DairySci.  97: 1 –  7

Wagner, P.E.  2001.  Heat Stres on Dairy Cows. J. of Dairy Science. Dairy Franklin Country Publisher, Nettherland.

Winarso, Djoko.  2008.  Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan.  J.  Sain Vet.  26 (2): 58 - 65. 

Yani, A.  dan B.  P.  Purwanto, 2006.  Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Friesian holsteindan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya.  Media Peternakan 79 (1) : 35 – 46.

Yani, A. Suhardiyanto., H, Hasbullah. R dan Purwanto. P. B.  2007.  Analisis dan simulasi distribusi suhu udara pada kandang Sapi Perah menggunakan Computational Fluid Dinamics (CFD). Media Peternakan. 3 (3) : 218 - 228














Lampiran 1.  Perhitungan Radiasi Matahari

1.                  Pukul 18.00 WIB
BGT = 24,5
R=T4
  = 4,903 x 10-8(24,5 + 273)4
  = 384.07 Kcal/m2/jam


2.                  Pukul 24.00 WIB
BGT = 24
R=T4
  = 4,903 x 10-8(24 + 273)4
  = 381,49 Kcal/m2/jam

3.                  Pukul 06.00 WIB
BGT = 24
R=T4
  = 4,903 x 10-8(24 + 273)4
  = 381,49 Kcal/m2/jam

4.                  Pukul 12.00 WIB
BGT = 28,5
R=T4
  = 4,903 x 10-8(28,5 + 273)4
  = 405,14 Kcal/m2/jam

5.                  Pukul 18.00 WIB
BGT = 26
R=T4
  = 4,903 x 10-8(26 + 273)4
  = 391.87 Kcal/m2/jam

Rata-rata = 388,81 Kcal/m2/jam



Lampiran 2.  Perhitungan Berat Jenis Susu

  1. Susu Segar
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
                    = 1,030 – (27,5 – 26) x 0,0002
                    = 1,0297

  1. Susu UHT
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
                    = 1,022 – (27,5 – 25,5) x 0,0002
                    = 1,0216

     














Lampiran 3.  Dokumentasi Praktikum