PRODUKSI TERNAK
PERAH
![]() |
Disusun
oleh :
KELOMPOK : III A
Akbar Tri Hatma 23010113120007
Novia Sri
Hapsari 23010113120012
Elin
Herlina 23010113120030
Anindita Ariza 23010113120039
Nunik Ita
Varianti 23010113120046
Jumbriyadi 23010111320107
Hendra R.
Tamba 23010111320128
PROGRAM STUDI
S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS
PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2015
Judul : LAPORAN RESMI PRAKTIKUM PRODUKSI
TERNAK PERAH
Kelompok / Kelas :
TIGA / A
Program Studi / Jurusan : S-1 PETERNAKAN /
PETERNAKAN
Fakultas : PETERNAKAN DAN PERTANIAN
Tanggal Pengesahan :
MEI 2015
Menyetujui,
|
Asisten
Pembimbing
Andri
Wibowo, S.Pt.
NIM. 23010111120026
|
Koordinator
Umum Asisten
Syahrizal
Bobi Kurniawan
NIM.
23010112140282
|
Mengetahui,
|
Drh.
Dian Wahyu Harjanti
NIP. 19801214 200501 1 00
|
KATA PENGANTAR
Segala puji Tuhan yang
Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan
laporan praktikum produksi ternak perah ini.
Pada dasarnya laporan ini berisi tentang pengamatan fisiologi ternak dan
fisiologi lingkungan sapi perah, anatomi biologis ambing, susu sapi dan
recording sapi perah.
Tidak lupa kami ucapkan
banyak terima kasih kepada asistan pembimbing yang telah membimbing kami baik
dalam pelaksanaan praktikum maupun dalam penyusunan laporan praktikum. Dosen Pengampu mata kuliah produksi ternak
perah yang telah memberikan materi sebagai pedoman bagi kami dalam melaksakan
praktikum ini, sehingga laporan ini dapat di selesaikan tepat
pada waktunya.
Kami juga menyadari,
bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami berharap kritik
dan saran baik dari pembaca, dosen, asistan pembimbing maupun rekan-rekan
yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi kami untuk
pembuatan laporan yang akan datang.
Semoga Tuhan yang maha kuasa melimpahkan rahmat-nya bagi kita semua. Atas perhatiannya kami mengucapkan terima
kasih.
|
|
Semarang, Mei 2015
|
|
|
Penulis
|
RINGKASAN
Kelompok
IIIA. 2015. Laporan Resmi Praktikum Produksi
Ternak Perah (Asisten : Syahrizal Bobi
Kurniawan).
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Fisiologi
Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan
pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 pukul 18.00 – 18.00 WIB di kandang sapi
perah sedangkan materi Anatomi ambing
dan Berat Jenis Susu dilaksanakan hari Rabu tanggal 22 April 2015 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
Materi
yang digunakan adalah air, sapi perah nomer 2031, preparat awetan ambing sapi, susu segar, susu kemasan (Ultra Milk), narasumber, hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban, black globe untuk mengukur radiasi
matahari, meteran untuk mengukur kandang, termometer klinis untuk mengukur suhu
rektal sapi, tisu basah untuk membersihkan termometer
klinis, stetoskop untuk mengukur denyut nadi sapi, stopwatch untuk mengukur
waktu, nampan untuk wadah preparat, gelas ukur untuk wadah susu dan
laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis susu.
Berdasarkan praktikum fisiologi lingkungan diperoleh
hasil bahwa suhu dalam kandang 26,6ºC, suhu luar kandang 26,5ºC, kelembaban
dalam kandang 73,9%, suhu luar kandang 75,0%, radiasi matahari 388,81 kkal m-2
jam-1 dan evaluasi
perkandangan sudah baik. Fisiologi ternak
diperoleh hasil suhu tubuh 38,55ºC, denyut nadi 60 kali/menit, frekuensi
nafas 36 kali/menit, jumlah konsumsi air minum 22,1 liter, frekuensi defekasi,
11 kali/hari, dan frekuensi urinasi 8 kali/hari. Recording sapi perah diperoleh hasil umur sapi 4,5 tahun dikawinkan
dengan inseminasi buatan pada Februari 2014, dan sapi belum pernah terkena
penyakit. Anatomi eksterior ambing teridiri dari outer wall, medial suspensory ligament, lateral suspensory ligament,
membrane vine, bulu, dan puting. Anatomi interior ambing terdiri dari
alveoli, gland cistern, teat cistern,
annular fold dan teat meatus.
Setiap bagian memiliki fungsi masing-masing dalam pembentukan susu dan proses
pengeluarannya Berat jenis susu segar 1,0297 dan susu olahan memiliki berat
jenis 1,0216.
Kata kunci : fisiologi
lingkunga, fisiologi ternak, recording, anatomi biologis ambing, dan berat
jenis susu.
Halaman
DAFTAR ISI
|
Halaman
|
|
DAFTAR ILUSTRASI
|
4. Diagram
Alir Proses Pengeluaran Susu
DAFTAR LAMPIRAN
|
BAB
I
PENDAHULUAN
Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi
sebagai penghasil susu. Produktivitas ternak perah
dipengaruhi kondisi fisiologi lingkungan
yang meliputi suhu udara, kelembapan, radiasi matahari yang mampu mempengaruhi kenyamanan ternak, serta kondisi fisiologi ternak meliputi
suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi respirasi. Recording berguna untuk
memberi keterangan tentang individu sapi maupun secara keseluruhan sehingga
membantu peternak dalam mengambil keputusan yang sifatnya teknis dan ekonomis.
Ambing merupakan karakteristik utama pada mamalia yang berasal dari
kelenjar keringat yang ditutup oleh bulu kecuali pada bagian puting.
Uji
berat jenis susu dilakukan untuk mengetahui kualitas susu..
Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan hubungan
antara fisiologi lingkungan dengan fisiologi ternak, mengenal dan
mengetahui aspek-aspek rekording serta mengetahui anatomi ambing dan mengukur kualitas susu
berdasarkan berat jenis. Manfaat
praktikum ini adalah praktikan
dapat mengetahui cara pengukuran fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, rekording, anatomi ambing, dan pengukuran berat jenis susu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Perah
Frisian Holstein
Sapi Perah
Peranakan
Friesian Holstein (PFH) merupakan
persilangan antara sapi Friesian Holstein
(FH) dengan sapi lokal Indonesia (Affandi, 2009). Karakteristik
pada
sapi PFH adalah memiliki corak
belang hitam putih atau merah putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk
ambing seperti cawan dengan puting susu yang kecil dan bervariasi
teksturnya, pada dahi terdapat bulu putih yang
berbentuk segitiga (Makin, 2011).
2.2. Fisiologi
Lingkungan Sapi Perah
Faktor lingkungan yang
mempengaruhi produktivitas dari seekor ternak
antara lain suhu udara,
kelembapan udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Yani dan Purwanto,
2005). Salah satu kendala yang
mempengaruhi produktivitas sapi perah adalah suhu udara dan kelembapan udara
(Arnold et al.,, 2013).
2.2.1. Suhu Lingkungaan
Suhu lingkungan di daerah perkembangan sapi perah Friesian Holstein berkisar antara 5°C -
15°C ( Yani dan Purwanto, 2005). Indonesia
merupakan negara tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34°C dan menyebabkan
penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan kualitas susu (Arnold et al.,, 2013).
2.2.2. Kelembapan
Negara tropis memiliki
tingkat kelembapan udara rata-rata sebesar 60 – 90% (Yani et al.,, 2007). Tingkat suhu
udara dan kelembapan udara yang tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi
susu pada sapi peranakan Frisien
Hollstein. (Arnold et al.,, 2013)
2.2.3. Radiasi matahari
Radiasi matahari adalah pemindahan panas suatu benda ke
benda lain tanpa bersentuhan. Arus panas
radiasi mengalir tanpa bantuan bahan pengantar atau media dan dapat melewati
ruang hampa udara. Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari
bisa mencapai 77,38%. Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi
FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada
pukul 13.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi
matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam (Yani, 2007). Sapi FH
memiliki warna kulit hitam dan putih, umumnya warna putih lebih dominan dari
warna hitam atau sebaliknya. Dominannya warna putih pada seekor sapi FH
menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna
putih dapat menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa
mencapai 98%) (Wagner, 2001).
2.2.4. Perkandangan sapi perah
Perkandangan
merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk
melakukan kegiatan proses produksi ternak.
Pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu :
terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan
dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya
(Sutarno, 2003). Sistem perkandangan sapi perah ada dua jenis
yaitu stanchion barn dan loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan
dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan
bergerak namun dengan batas-batas tertentu (Syarif, 2011).
2.3. Fisiologi Ternak Sapi Perah
Suhu serta kelembapan
udara merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi fisiologis sapi seperti
frekuansi nafas (Yani dan Purwanto, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
frekuensi nafas, meliputi jenis ternak, bangsa, individu, umur, jenis kelamin
dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara lain lingkungan, aktivitas
dan tekanan (stress) serta suhu
sekitar (Rumetor, 2003).
2.3.1. Suhu tubuh
Pengukuran temperatur
rektal dimaksudkan untuk mengetahui temperatur dalam tubuh ternak. Temperatur rektal akan meningkat apabila
ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut
jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan
(Churng, 2002). Suhu tubuh akan
meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui
pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan
lingkungan (Rumetor, 2003).
2.3.2. Denyut nadi
Denyut nadi pada daerah comfort zone akan konstan tetapi apabila telah melewati batas
tolerir comfort zone maka denyut
nadi akan mengalami peningkatan (Frandson, 1992). Frekuensi denyut jantung sangat dipengaruhi
oleh suhu lingkungan. Denyut nadi sapi
PFH yang sehat pada daerah pemeliharaan yang nyaman (suhu tubuh 38,6oC)
adalah 60 – 70 kali/menit (Ensminger, 1971).
Faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah konsumsi pakan, umur,
aktivitas otot, kebuntingan, stress
dan suhu udara (Budianto, 2012).
2.3.3. Frekuensi
nafas
Pernapasan merupakan
suatu mekanisme dari rata-rata pengambilan oksigen(O2) ke dalam paru-paru dan
mekanisme pengeluaran karbondioksida (CO2) dari paru-paru. Pernapasan juga menyediakan O2 untuk darah
dan mengambil CO2 dari darah (Dukes, 1995).
Fungsi lain dari pernapasan adalah membantu regulasi keasaman cairan
ekstra seluler dalam tubuh, pengendalian suhu dan pembentukan suara. Fungsi utama dari sistem pernapasan adalah
untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Pernapasan terdiri atas dua proses penting
yaitu proses inspirasi yang merupakan perbesaran thorax dari paru-paru disertai
masuknya udara, dan proses ekspirasi yang merupakan penurunan dari ukuran dada
disertai keluarnya udara (Frandson, 1996).
Frekuensi pernafasan sapi PFH di daerah tropis pada kondisi nyaman
berada pada kisaran 31 kali per menit (Purwanto, 2004). Perubahan frekuensi pernafasan sejalan dengan
peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi
pernafasan untuk melepaskan panas. Faktor
yang dapat mempengaruhi frekuensi pernapasan adalah ukuran tubuh, umur, gerak
otot, temperatur lingkungan dan faktor yang disebabkan pengaruh terhadap suhu
tubuh ternak yaitu dalam hal produksi panas tubuh
(Guyton, 1990).
(Guyton, 1990).
2.3.4. Konsumsi air minum
Konsumsi air minum
untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari (Siregar, 1996). Sapi
dara mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58-12,76% dari bobot badan pada kondisi
lingungan tidak nyaman dengan suhu lingkungan malam hari sekitar 24oC
dan siang hari 33,34oC. Konsumsi
air minum pada sapi ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu lingkungan,
ukuran tubuh dan kelembapanlingkungan (Muljana, 1987). Konsumsi air minum pada sapi perah pada
lingkungan nyaman berkisar antara 3 - 3,5 liter/kilogram konsumsi bahan kering
dan akan meningkat dalam kondisi cekaman panas.
Penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu
lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh.Meskipun secara umum keperluan
air akan naik, hubungan konsumsi air yang dimunim oleh ternak dengan kenaikan
suhu lingkungan belum tentu mengalami kenaikan (Yani dan Purwanto, 2005).
2.3.5. Frekuensi urinasi
Urinasi merupakan suatu yang dilakukan
ternak dalam mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu dengan cara membuang urin
atau cairan yang tidak bermanfaat lagi bagi tubuh (Akoso, 2008). Sapi perah mampu berurinasi selama 24 jam sebanyak 3 kali
sampai 19 kali. Frekuensi urinasi seekor
ternak dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi air
minum pada sapi perah (Robichaud et al., 2011).
2.3.6. Frekuensi defekasi
Standar frekuensi defekasi sapi perah selama 24 jam
mengeluarkan feses sebanyak 6 sampai 8 kali dan mengeluarkan 8% dari berat
badannya (Soetarno, 2003). Pada
ternak frekuensi urinasi dan defekasi sendiri dipengaruhi oleh suhu kandang,
lingkungan dan pakan. Biasanya frekuensi
urinasi dan defekasi akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak
beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika diwaktu makan (Embertson et
al.., 2009). Defekasi akan meningkat
diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan (Vaughan et al., 2014).
2.4. Anatomi
Biologis Ambing
Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir dan masing-masing kuartir
memiliki 1 putting (Frandson et al., 2009).
Ambing
sapi dibagi menjadi 4 kuartir, setiap kuartir memiliki satu puting. Ambing pada kuartir bagian kanan dan kiri
dipisahkan oleh ligamentum suspensori medialis, sedangkan kuartir ambing
bagian depan (cranial) dan kuartir bagian belakang (caudal)
dipisahkan oleh membran. Ambing bagian
depan menghasilkan produksi sebesar 40%, sedangakan ambing bagian belakang
mampu memproduksi susu 60% untuk setiap harinya. Ambing pada hewan ternak khususnya sapi, kaya
akan produksi susu, lemak susu, dan kaya protein dengan suplai dari darah
sehingga penting bagi peternak untuk memahami cara kerja ambing (Nelson, 2010).
2.4.1. Perkembangan ambing
Pertumbuhan ambing
dimulai 4-5 minggu setelah terjadi konsepsi (periode prenatal), lahir, dewasa
(periode pubertas), pertumbuhan saat ternak bunting dan laktasi. Pertumbuhan
ambing pada ternak mamalia sebelum fase kebuntingan berjalan lambat, tetapi
pada saat ternak bunting pertumbuhan ambing sangat cepat dan mulai menurun pada
saat laktasi (Lawrence dan Fowler, 2002). Fase pregnant mare serum gonadorrophin (PMSG) merupakan
salah satu fase dimana terjadi perangsangan timbulnya birahi serta menimbulkan
superovulasi pada sapi perah betina., dan terjadinya superovulasi ini akan
meningkatkan keberhasilan perkawinan. Pada periode kebuntingan perkembangan
ambing mengalami pertumbuhan pesat karena peran aktif dari korpus luteum untuk
menghasilkan hormon progesteron yang bersama-sama dengan estrogen dan laktogen
plasenta mengatur pemanjangan dan perbanyakan sistem saluran kelenjar ambing
(Sutopo, 2001). Pertumbuhan kelenjar susu dari lahir
sampai pubertas terus mengalami perubahan, pada sapi muda pertumbuhan system
duktus terus berlangsung dan hasilnya akan terlihat pada ambing sapi dewasa,
ukuran kuartir pada ambing semakin bertambah sebagian pada kuartir belakang
sampai pada timbunan jaringan lemak masing-masing menyatu menjadi satu dan bergabung
pada dasar bagian ambing, berat ambing pada anak sapi dan bergabung pada dasar
bagian ambin, berat ambing apada anak sapi sampai pubertas terus meningkat
kapasitasnya (Mukhtar, 1997).
2.4.2. Anatomi dan fisiologi ambing
Ambing merupakan
suatu kelenjar kulit yang sekelilingnya tertutupi oleh bulu, kecuali pada
puting. Ambing tampak seperti kantung
yang berbentuk persegi empat yang terbagi menjadi dua bagian kiri dan kanan
yang dipisahkan oleh satu lekukan yang memanjang disebut medial suspensory ligament.
Bagian ambing kanan dan kiri masing-masing dipisahkan menjadi dua bagian
kuartir depan dan belakang oleh suatu membrane yang amat tipis disebut membrane vine. Kuartir belakang merupakan bagian yang besar
dan menghasilkan susu 60% dari total produksi sedangkan bagian depan 40% dari
total produksi (Sangbara, 2011). Bagian
eksternal ambing antara lain medial
suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine dan bagian
internal ambing antara lain alveoli, milk
ductus atau saluran susu, gland
cistern, teat cistern, otot sfingter,
annular fold, dan streak canal (Blakely dan Bade,
1994). Alveoli merupakan struktur utama
penghasil susu yang dilapisi oleh sel epitel.
Susu yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui sistem duktus menuju
sinus lactiferous dan gland cistern untuk ditampung sebelum nantinya
dikeluarkan melalui puting (Frandson et al., 2009). Gland cistern
merupakan tempat penampungan susu dari semua saluran, susu yang telah
ditampung akan mengalir menuju teat
cistern melewati annular fold yang
didalamnya terdapat otot sfingter
sebagai penahan susu di dalam ambing. Streak canal yang ditutupi oleh otot sfingter merupakan pintu bukaan dair teat cistern sebelum keluar melewati teat meatus menuju ruang bebas (Blakely
dan Bade, 1994).
2.4.3. Pembentukan susu dan biosintesis susu
Di dalam tubuh sapi,
air susu dibuat oleh kelenjar susu di dalam ambing. Kelenjar susu tersusun dari
gelembung-gelembung susu sehingga berbentuk seperti buah anggur yang disebut
alveoli. Dinding gelembung tersebut
merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu yang bahan baku pembentuknya adalah dari darah
(Sangbara, 2011). Biosintesis susu
meliputi sintesis protein, sintesis lemak dan sintesis laktosa. Bahan baku
untuk sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma protein, dan
peptide. Protein susu disintesis oleh
ambing, sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan
asam amino. Proses sintesis air susu
terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol oleh gen-gen yang mengandung
bahan genetik (DNA). Sintesis protein
susu meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan
translasi RNA menjadi protein (Aisyah, 2011).
Pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang banyak terdapat pada hijauan,
paling banyak diproduksi oleh mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian
asam propionat. Asam asetat langsung
dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu. Tiga puluh dua persen dari asam propionat
yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa (Musnandar, 2011).
2.4.4. Pengeluaran susu
Pengeluaran susu
merupakan suatu reflek saraf yang dihasilkan oleh berbagai rangsangan. Rangsangan yang diberikan pada ambing, akan
mendorong hormon oksitosin untuk melepaskan susu keluar dari alveolus dan
duktus–duktus kecil ke dalam tiap–tiap kuartir (Pujiati dan Indrianto, 2009). Rangsangan syaraf seperti gerakan pedet menyusu,
usapan, tekanan dan basuhan air hangat
menyebabkan lubang puting susu terbuka sehingga air susu dari ruang
kisterna mengalir keluar (Sangbara, 2011).
Rangsangan tersebut menyebabkan hormon oksitosin dari lobus posterior
kelenjar pituitary dan masuk ke
aliran darah. Oksitosin mencapai ambing
dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan alveolus dan
salura-saluran kecil sehingga susu akan
terdorong keluar (Blakely dan Bade, 1994).
2.5. Susu
Sapi Perah
2.5.1. Susu sapi perah
Susu sapi perah merupakan bahan pangan sumber protein yang
sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena memiliki
kandungan gizi yang tinggi dan komposisi yang lengkap (Utomo dan Miranti, 2010). Susu merupakan bahan pangan yang banyak
disukai oleh masyarakat karena mempunyai kandungan nutrisi yang sangat lengkap
antara lain lemak, laktosa, protein, mineral, vitamin dan enzim (Winarso, 2008).
2.5.2. Komponen susu
Komponen susu terdiri
dari air, lemak, protein, laktosa, SNF (Solid
Non Fat) atau bahan kering tanpa lemak dan Total Solid (TSL) (Winarso, 2008).
Komposisi susu terdiri dari 3,7 %
lemak susu, 4,9% laktosa dan 3,5% protein, (Prasetya, 2012). Kadar air dalam susu
sebesar 87,5%, tingginya kadar air dalam susu terjadi karena air merupakan
medium dispersersi lemak dan komponen yang larut dalam air susu, Komponen susu
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan, umur sapi, iklim dan waktu
pemerahan (Utomo dan Miranti 2010). Kandungan vitamin dalam susu adalah sebesar 2
mg/100 (Nurliyani, 2003).
2.5.3. Berat jenis susu
Berat jenis susu berbanding terbalik degan jumlah kadar
lemak susu, jika kadar lemak susu tinggi maka berat jenis susu semakin rendah,
begitu juga apabila kadar lemak susu rendah maka berat jenis susu meningkat
(Mardalena, 2008). Berat Jenis susu
segar standar adalah sebesar 1,028 (Miskiyah, 2011). Semakin tinggi TS (Totak Solid) dan berat jenis dan lemak yang terkandung dalam susu
maka akan semakin tinggi kualitas susu tersebut. Kualitas susu dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti pakan, lingkungan, ternak, dan umur ternak (Nurhadi, 2010). Semakin lama penyimpanan susu, maka berat
jenis susu semakin meningkat (Ismanto et
al.,, 2013). Susu yang telah
mengalami penyimpanan maka mengalami fermentasi secara anaerob. Bakteri dalam susu akan menggunakan laktosa
dan kasein untukfermentsi menghasilkan asam laktat. Semakin lama penyimpanan semakin banyak asam
laktat yang terbentuk dan kandunga laktosa dalam susu semakin menurun (Sawitri,
2012).
2.6. Recording
Recording merupakan segala hal yang berkaitan
dengan pencacatan terhadap ternak secara individu yang menunjukan pertumbuhan
dan perkembangannya. Tata cara recording
yaitu dengan mencatat setiap kegiatan dan tingkah laku yang dilakukan oleh
ternak dalam kehidupan sehari-hari. Recording
yang baik dilakukan pencatatan rutin setiap hari terutama ketika ternak
mengalami perubahan pada produktivitas maupun reproduksi. Recording dapat digunakan untuk
mengetahui kualitas induk dan pejantan karena sangat berpengaruh terhadap
keturunan yang dihasilkan (Susilowati dan Affandy, 2004).
Recording merupakan sistem
pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan lebih
sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva produksi ataupun
nilai pemuliaan
(Indrijani dan Anang,
2002).
BAB III
METODOLOGI
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Fisiologi
Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan
pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 pukul 18.00 – 18.00 WIB di kandang sapi
perah sedangkan materi Anatomi ambing
dan Berat Jenis Susu dilaksanakan hari Rabu tanggal 22 April 2015 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Laboratorium
Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1. Materi
Bahan
yang digunakan adalah air, sapi perah
nomer 2031, preparat awetan ambing sapi, susu segar, susu kemasan (Ultra Milk) dan narasumber. Alat
yang digunakan dalam praktikum
adalah hygrometer untuk
mengukur suhu dan kelembapan, black globe
temperature untuk mengukur radiasi matahari, meteran untuk mengukur
kandang, termometer klinis untuk mengukur suhu rektal sapi, tisu basah untuk membersihkan termometer
klinis, stetoskop untuk mengukur denyut nadi sapi, stopwatch
untuk mengukur waktu, nampan untuk wadah preparat, gelas ukur untuk wadah susu
dan laktodensimeter untuk mengukur suhu dan berat jenis susu.
3.2. Metode
3.2.1. Fisiologi lingkungan
3.2.1.1. Suhu lingkungan, metode
yang digunakan dalam praktikum produksi ternak perah dengan materi suhu
lingkungan adalah mengamati suhu lingkungan makro dan mikro menggunakan alat hygrometer, mencatat hasil pengamatan
pada lembar laporan sementara.
3.2.1.2. Kelembapan, metode
yang digunakan dalam praktikum produksi ternak perah dengan materi kelembapan
udara adalah mengamati kelembapan udara pada hygrometer dalam kandang dan luar kandang, mencatat hasil
pengamatan pada lembar laporan sementara..
3.2.1.3.
Radiasi matahari, metode yang dilakukan dalam pengukuran
radiasi matahari adalah dengan cara membaca angka pada hygrometer yang terdapat pada black globe temperature, menghitung besar
radiasi matahari dengan rumus :
R=ᵟT4
Keterangan :
R
= Radiasi matahari (Kcal m-2 jam-1)
ᵟ
= Konstanta Stefann Boltzman (4,903x10-8)
T
= suhu mutlak dalam Kelvin (273 + 00C)
3.2.1.4.
Perkandangan sapi perah, menggunakan metode pengamatan pada
kandang secara langsung, dimana praktikan melakukan pengamatan mengenai kondisi
kandang, mengukur panjang kandang, lebar kandang, tinggi kandang, tinggi atap
luar, tinggi atap dalam, panjang tempat pakan dan minum, lebar tempat pakan dan
minum, tinggi tempat pakan dan minum, kemiringan lantai, jarak kandang dengan
pembuangan limbah, lebar dan tinggi pintu, gudang pakan, bak penampungan air,
panjang selokan, lebar selokan, kedalaman selokan dan bahan pembuat
atap dan lantai.
3.2.2.
Fisiologi ternak
3.2.2.1.
Suhu rektal, menggunakan metode mengukur temperatur
tubuh atau pengukuran suhu rektal dengan cara
memasukkan termometer klinis ke dalam rektum sapi hingga berbunyi
yang menandakan suhu rektal sudah stabil, kemudian melihat angka yang
ditunjukkan oleh termometer klinis.
Pengukuran suhu rektal dilakukan
secara duplo atau dilakukan sebanyak dua kali.
3.2.2.2.
Denyut nadi, metode
yang digunakan dalam pengukuran denyut nadi adalah melalui perabaan bagian
denyut nadi pada bagian pangkal ekor sapi dengan menggunakan tangan dan merasakan
denyut nadi sapi. Perhitungan dilakukan
dengan merasakan denyut nadi selama satu menit.
3.2.2.3.
Frekuensi pernafasan, metode yang digunakan dalam
pengukuran frekuensi pernafasan dilakukan dengan tahapan melakukan handling sapi sehingga sapi tenang. Mengukur kecepatan pernafasan dengan
menempelkan telapak di dekat lubang hidung sapi perah, setiap tarikan dan
hembusan nafas dihitung satu kali pernafasan.
Pengukuran dilakukan selama satu menit.
3.2.2.4.
Konsumsi air minum, metode yang digunakan dalam
pengukuran konsumsi air minum dilakukan dengan melalui mengisi cup air
minum secara ad-libitum, mencatat
waktu pengisian dan menghitung jumlah frekuensi pengisian.
3.2.2.5.
Frekuensi urinasi, metode yang dilakukan dalam frekuensi
urinasi dengan cara mengamati selama 24 jam dan mencatat waktu pada saat sapi
perah mengeluarkan urin.
3.2.2.6.
Frekuensi defekasi, metode yang dilakukan dalam frekuensi
urinasi dengan cara mengamati selama 24 jam dan mencatat waktu pada saat sapi
perah mengeluarkan feses.
3.2.3.
Anatomi biologis ambing
Metode yang dilakukan
adalah menyiapkan preparat bambing sapi perah yang telah di awetkan, mengamati
secara langsung ambing (awetan), mendiskusikan untuk mengetahui bagian-bagian
ambing serta fungsinya dan memepersentasikan hasil pengamatan.
3.2.4. Pengukuran berat jenis susu
Metode yang digunakan adalah menyiapkan susu segar dan susu
UHT masing-masing 500 ml. Menuangkan
susu segar ke dalam gelas ukur 500 ml, yang sebelumnya susu dikocok terlebih
dahulu supaya homogen. Memasukkan
laktodensimeter ke dalam gelas ukur dengan pelan-pelan dan hati-hati yang
sebelumnya termometer pada laktodensimeter di tare terlebih dahulu. Menunggu
sampai laktodensimeter stabil dan membaca skala dan suhu yang ditunjukkan di
permukaan susu. Mencatat suhu dan berat
jenis yang terukur dalam diktat pratikum.
Menghitung berat jenis susu dengan
rumus :
Berat Jenis = Berat jenis terukur –
(27,5 – T) X 0,0002
Keterangan:
T = suhu terukur
3.2.5. Recording
Recording dilakukan dengan mewawancarai langsung kepada pak Marno
sebagai penjaga kandang sekaligus
narasumber mengenai
pencatatan identitas sapi, produksi sapi, riwayat penyakit yang
pernah diderita dan riwayat keberhasikan
reproduksi sapi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fisiologi Lingkungan
Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa salah satu faktor penentu kuantitas
dan kualitas produksi susu pada sapi perah adalah lingkungan. Faktor fisiologi lingkungan dalam hal ini
meliputi suhu udara, tingkat kelembapan pada udara, dan radiasi matahari. Menurut Yani (2005) faktor lingkungan yang
mempengaruhi produktivitas sapi perah meliputi suhu udara, kelembapan udara,
radiasi matahari, dan kecepatan angin. Ditambah
pendapat Arnold (2013) bahwa salah satu kendala yang mempengaruhi produktivitas
sapi perah adalah suhu udara dan kelembapan udara.
Tabel 1. Hasil Pengukuran
Suhu, Kelembapan, dan Radiasi Matahari
|
No.
|
Jam
|
Suhu
|
Kelembapan
|
Radiasi
Matahari
|
||
|
Dalam
|
Luar
|
Dalam
|
Luar
|
|||
|
|
|
-----°C-----
|
-----%-----
|
--kkal
m-2 jam-1--
|
||
|
1.
|
18.00
|
27,5
|
27,1
|
71,0
|
72,0
|
384,07
|
|
2.
|
24.00
|
25,5
|
25,0
|
80,0
|
80,0
|
381,49
|
|
3.
|
06.00
|
25,0
|
25,0
|
81,5
|
80,0
|
381,49
|
|
4.
|
12.00
|
28,0
|
27,9
|
65,0
|
68,0
|
405,14
|
|
5.
|
18.00
|
27,0
|
27,5
|
72,0
|
74,0
|
391,87
|
|
|
Rerata
|
26,6
|
26,5
|
73,9
|
75,0
|
388,81
|
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi
Ternak Perah, 2015.
4.1.1. Suhu
lingkungan,
Berdasarkan tabel 1. diperoleh
bahwa suhu lingkungan mikro sebesar 26,6°C dan suhu makro sebesar 26,5°C. Suhu
lingkungan merupakan tingkat derajat panas yang diterima oleh tubuh hewan
ternak, dalam hal ini adalah sapi peranakan Frisiean
Holstein. Suhu mikro adalah besarnya
suhu yang berada di dalam kandang, sedangkan suhu makro adalah besarnya suhu
yang berada di lingkungan luar kandang. Tingginya
tingkat suhu udara ini akan mengurangi kinerja sapi karena menyebabkan cekaman
panas yang akan berimbas pada penurunan jumlah produksinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al.,
(2005) bahwa temperatur suhu di daerah asal sapi perah Friesian holstein adalah 5°C - 15°C. Ditambahkan pendapat dari Arnold et al.,
(2013) bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu udara
24 - 34°C dan menyebabkan penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan kualitas susu.
4.1.2. Kelembapan
Berdasarkan tabel 1. diperoleh
hasil bahwa kelembapan udara merupakan besarnya uap air yang ada di udara bebas. Tingginya kelembapan udara menyebabkan
terjadinya cekaman panas pada hewan ternak dalam hal ini adalah sapi jenis
peranakan Frisiean Hollstein. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,
didapatkan hasil bahwa rata-rata kelembapan udara mikro dan makro adalah 73,9%
dan 75%. Hal ini sesuai dengan pendapat
Yani et al., (2007) bahwa negara tropis memiliki
tingkat kelembapan udara sebesar 60 – 90%.
Tingkat kelembapan yang tinggi akan mempengaruhi produktivitas sapi
peranakan Frisien Hollstein. Hal ini sesuai dengan Arnold et al.,
(2013) bahwa tingkat suhu udara dan kelembapan udara yang tinggi
akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi peranakan Frisien Hollstein.
4.1.3. Radiasi matahari
Berdasarkan tabel 1.
diperoleh radiasi matahari tertinggi terjadi pada pukul 12.00 WIB yaitu sebesar
405,14 Kcal m-2 jam-1.
Pada kondisi ini sapi FH sudah
mengalami cekaman panas, radiasi matahari secara langsung terhadap sapi perah
FH yang mengakibatkan sapi tidak nyaman.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Yani (2007) yang menyatakan bahwa cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari
bisa mencapai 77,38%. Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi
FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada
pukul 13.00 – 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi
matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam. Talib et al.,, (2002) mengatakan bahwa ternak
dengan bulu yang pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur kulit yang
halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas
radiasi matahari. Wagner (2001) yang menyatakan bahwa sapi FH
memiliki warna kulit hitam dan putih, umumnya warna putih lebih dominan dari
warna hitam atau sebaliknya. Dominannya warna putih pada seekor sapi FH
menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna
putih menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa
mencapai 98%).
4.1.4. Perkandangan
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan sistem perkandangan di Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang dilihat dari aspek-aspek
perkandangan sudah termasuk dalam kategori baik. Hanya
saja sanitasinya perlu ditingkatkan lagi.
Perkandangan merupakan suatu
lokasi atau lahan khusus yang diperuntukkan sebagai sentra kegiatan peternakan
yang didalamnya terdiri atas bangunan utama (kandang), bangunan penunjang
(gudang pakan, kandang isolasi) dan perlengkapan lainnya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Soetarno (2003) yang menyatakan bahwa perkandangan
merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk
melakukan kegiatan proses produksi ternak.
Dalam pembuatan kandang sapi
perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat ventilasi, memberikan
kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan dan memberi kemudahan bagi
pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya.
Ditambahkan oleh pendapat Syarif
(2011) yang menyatakan bahwa sistem perkandangan sapi perah ada dua jenis yaitu
stanchion barn dan loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan
dimana hewan diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan
bergerak namun dengan batas-batas tertentu.
Tabel
2. Hasil Pengukuran Kandang
|
Parameter
|
Ukuran
|
|
Panjang Kandang (m)
|
12,6
|
|
Lebar Kandang (m)
|
8,2
|
|
Tinggi Kandang (m)
|
4,22
|
|
Panjang palung (m)
|
9,2
|
|
Lebar palung (cm)
|
55
|
|
Kedalaman palung (cm)
|
50
|
|
Tinggi palung (cm)
|
63
|
|
Panjang selokan (m)
|
9,43
|
|
Lebar selokan (cm)
|
26
|
|
Kedalaman selokan (cm)
|
8
|
|
Lebar flock
(cm)
|
199
|
|
Panjang flock (cm)
|
190
|
|
Tinggi flock (cm)
|
129
|
|
Kamar susu (m2)
|
10,56
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Ilustrasi 1. Kandang Tampak Dalam (Kiri) dan Tampak Luar
(Kanan)
![]() |
![]() |
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi
Ternak Perah, 2015.
4.2. Fisiologi
Ternak
Pengamatan fisiologi
ternak sapi perah meliputi pengukuran
suhu tubuh, denyut nadi dan frekuensi nafas.
Menurut Yani dan Purwanto (2006)
kisaran suhu tubuh normal pada sapi FH adalah 38,5 – 39,60C dengan
suhu kritis 400C, kisaran
normal denyut nadi 60 - 70 kali/menit dan rata- rata frekuensi nafas tiap menit
dalam keadaan istirahat adalah 20 kali. Rumetor (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi kondisi fisiologis ternak, meliputi jenis ternak, bangsa,
individu, umur, jenis kelamin dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara
lain lingkungan, aktivitas dan tekanan (stress)
serta suhu sekitar.
Tabel 3.
Hasil Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut Nadi dan Frekuensi Nafas
|
No.
|
Jam
|
Suhu
Tubuh
|
Denyut
Nadi
|
Frekuensi
Nafas
|
|
|
|
-----°C-----
|
----------kali/menit----------
|
|
|
1.
|
18.00
|
38,8
|
58
|
33
|
|
2.
|
24.00
|
38,55
|
57
|
31
|
|
3.
|
06.00
|
37,85
|
54
|
28
|
|
4.
|
12.00
|
38,8
|
66
|
52
|
|
5.
|
18.00
|
39,05
|
67
|
40
|
|
|
Rerata
|
38,55
|
60,8
|
36,9
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.2.1. Suhu tubuh
Berdasarkan
tabel 3. diperoleh rata-rata suhu tubuh 38,550C. Hal
tersebut sesuai standar normal yang dikemukakan oleh Palulungan et al.,, (2013) yang menyatakan bahwa
suhu tubuh normal sapi perah FH sekitar 38 – 39,50C. Hal
ini menandakan bahwa indikasi stres panas yang dialami oleh sapi perah belum
parah, kemungkinan stres panas tersebut telah cukup diantisipasi dengan sistem
pengurangan panas oleh tubuh ternak. Churng (2002) menyatakan bahwa beberapa upaya
pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain berteduh,
mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi,
meningkatkan produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin. Pengukuran
temperatur rektal dimaksudkan untuk mengetahui temperatur dalam tubuh ternak. Rumetor (2003) menyatakan bahwa temperatur rektal akan meningkat apabila
ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut
jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan.
4.2.2. Denyut nadi
Berdasarkan tabel 3. diperoleh hasil bahwa rerata
denyut nadi adalah sebesar 60,8 kali/menit.
Hasil ini masih tergolong dalam kondisi normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Ensminger
(1971) yang menyatakan bahwa denyut nadi sapi PFH yang sehat dan baik pada
daerah pemeliharaan yang nyaman (suhu tubuh 38,6oC) adalah 60 – 70
kali/menit. Suherman et al.,, (2013) bahwa kisaran denyut
jantung normal untuk sapi perah antara 50-80 kali/menit. Faktor yang mempengaruhi frekuensi denyut
nadi adalah suhu lingkungan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ensminger (1971) yang mengatakan bahwa perubahan suhu
pada lingkungan kandang dapat memberikan pengaruh pada perubahan denyut jantung
sapi PFH.
4.2.3. Frekuensi nafas
Berdasarkan
tabel 3. diperoleh hasil bahwa rerata frekuensi nafas adalah sebesar 36,9
kali/menit. Hasil ini menunjukan
indikasi tidak normal dalam pemeliharaan sapi PFH. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwanto
(2004) mengatakan bahwa frekuensi pernafasan sapi PFH pada pemeliharaan di
daerah tropis pada kondisi nyaman kisaran 31 kali/menit. Faktor yang mempengaruhi frekuensi nafas
adalah suhu lingkungan dan hal ini
terlihat jelas pada frekuensi nafas pukul 12.00 dengan suhu 28oC yang
mencapai 52 kali/menit. Guyton (1990)
mengatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi pernapasan adalah
ukuran tubuh, umur, gerak otot, temperatur lingkungan dan faktor yang
disebabkan pengaruh terhadap suhu tubuh ternak yaitu dalam hal produksi panas
tubuh.
4.2.4. Konsumsi air minum
Berdasarkan tabel 4. diperoleh hasil bahwa jumlah
konsumsi air minum selama pemeliharaan satu hari adalah sebesar 22,1 liter. Jumlah konsumsi air minum menunjukan nilai
konsumsi air tergolong sangat rendah. Jumlah
konsumsi air dipengaruhi oleh faktor temperatur lingkungan dan cekaman yang
terjadi pada ternak, penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi
oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh. Siregar (1996) menyatakan bahwa konsumsi air
minum untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari. Ditambahkan Muljana (1987) menyatakan bahwa kelembapan
udara, suhu lingkungan dan ukuran tubuh sangat berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya jumlah konsumsi air minum pada sapi perah.
Tabel 4.
Hasil
Pengukuran Konsumsi Air Minum
|
Pengisian
ke-
|
Volume
(L)
|
Jam
Pengisian
|
|
1
|
1,3
|
18.46
|
|
2
|
1,3
|
21.30
|
|
3
|
1,3
|
00.15
|
|
4
5
6
7
8
9
10
11
12
|
1,3
1,3
1,3
1,3
7,8
1,3
1,3
1,3
1,3
|
07.05
07.20
08.00
09.00
10.20
14.13
15.01
15.55
17.50
|
|
Total
|
22,1
|
|
|
Sisa
|
0
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.2.5. Frekuensi urinasi dan defekasi
Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa frekuensi urinasi selama 24 jam
sebanyak 9 kali, frekuensi urinasi selama 24 jam adalah normal karena
dipengaruhi oleh lingkungan dan banyaknya air yang diminum oleh ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al.,
(2011) menyatakan bahwa sapi perah mampu berurinasi selama 24 jam
sebanyak 3 kali sampai 19 kali. Frekuensi
urinasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi air
minum pada sapi perah. Emberston et al.,
(2009) yang menyatakan bahwa hewan ternak frekuensi urinasi dan
defekasi dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan pakan, biasanya
frekuensi dan defekasi akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak
beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika waktu makan.
Frekuensi defekasi selama 24 jam terjadi 11 kali defekasi,
frekuensi defekasi tersebut adalah normal karena standar defekasi normal yaitu
3 – 18 kali dalam sehari. Hal ini
dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan pemberian pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al.,
(2011) yang menyatakan bahwa frekuensi defekasi selama 24 jam pada
sapi perah terjadi sebanyak 3 sampai 18 kali dalam sehari, frekuensi defekasi
yang lebih rendah dari normal disebabkan karena suhu lingkungan yang cukup
tinggi sehingga ternak akan banyak minum.
menurut pendapat Vaughan et al., (2014) yang menyatakan bahwa defekasi akan
meningkat diwaktu jam–jam pemerahan dan pemberian pakan.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Urinasi dan Defekasi
|
No.
|
Waktu
Urinasi
|
Waktu
Defekasi
|
|
1.
|
20.14
|
20.14
|
|
2.
|
22.07
|
22.01
|
|
3.
|
03.12
|
01.30
|
|
4.
|
08.20
|
07.05
|
|
5.
|
10.30
|
08.00
|
|
6.
|
10.53
|
09.55
|
|
7.
|
14.44
|
11.50
|
|
8.
|
15.49
|
12.10
|
|
9.
|
|
12.26
|
|
10.
11.
|
|
15.51
17.10
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.3. Anatomi biologis ambing
Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan diperoleh hasil bahwa anatomi
ambing terdiri dari anatomi eksterior dan interior. Anatomi eksterior ambing
terdiri dari outer wall, medial
suspensory ligament, lateral suspensory ligament, membrane vine, bulu, dan
puting. Anatomi interior ambing terdiri dari alveoli, gland cistern, teat cistern, annular fold dan teat meatus.
Ilustrasi 2. Bagian-bagian Eksterior
Ambing
![]() ![]() |
|
Keterangan
1. Outer wall
2. Bulu
3. Puting
4. Medial suspensory ligament
5. Membran vine
6. Lateral suspensory ligament
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa ambing terbagi menjadi
4 kuartir. Kuartir kanan dan kiri dibatasi oleh medial suspensory ligament yang membagi kuartir kanan dan kiri
menjadi simetris. Kuartir depan dan belakang dibatasi oleh membrane vine. Lateral
suspensory ligament berfungsi untuk menempelnya ambing pada ambdomen. Bagian terluar ambing terdapat
outer wall yang berfungsi melindungi
ambing, bagian luar bulu kecuali pada puting yang berfungsi untuk pengaturan
suhu ambing dan proteksi terhadap bakteri yang masuk ke ambing, dan puting
untuk pengeluaran susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994)
yang menyatakan bahwa ambing terbagi menjadi empat kuartir yang masing-masing
berfungsi memproduksi susu secara mandiri. Sangbara (2011) menambahkan bahwa ambing sapi
perah terbagi menjadi dua bagian yaitu ambing kiri dan ambing kanan yang oleh
membrane yang tebal yang disebut medial
suspensory ligament. Ambing kiri dan kanan masing-masing terbagi menjadi
dua kuartir yaitu kuartir depan dan kuartir belakang yang setiap kuartir
mempunyai satu puting susu.
Ilustrasi
3. Bagian-bagian Interior Ambing
![]() |
|
Keterangan
1. Alveoli
2. Milk ductus
3. Gland cistern
4. Teat cistern
5. Annular fold
6. Streak canal
7. Teat meatus
|
Sumber : Data Primer Praktikum
Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum
yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa bagian-bagian interior ambing
terdiri dari alveoli, lumen, myoepithel,
gland cistern, teat cistern, annular fold, streak canal dan teat meatus.
Alveoli berfungsi sebagai struktur utama penghasil susu, kumpulan dari alveoli
disebut lobulus, dan lobulus yang bersatu disebut lobus. Lumen berfungsi
sebagai tempat awal penampungan susu, setelah ditampung pada lumen susu
kemudian ditampung pada gland cistern,dan
sebelum dikeluarkan melalui puting susu terakhir ditampung pada teat cistern. Myoepithel berfungsi untuk menyerap nutrisi dari darah menuju sel
sekretoris ambing. Annular fold
mengatur terbuka dan tertutupnya teat
meatus sebagai tempat keluarnya susu. Hal ini sesuai dengan pendapat
Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa susu disekresikan oleh unit
sekretoris yang disebut alveoli, alveoli terdiri dari suatu lapis dalam sel-sel
epitel yang menyelubungi suatu rongga yang disebut lumen. Sel epitel menyerap
zat-zat darah dan mensintesisnya menjadi susu.
Pembentukan susu dan biosintesis susu pada ambing
diproduksi di alveoli oleh kelenjar susu. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rusdiana dan Sejati (2009) yang
menyatakan bahwa di dalam ambing terdapat kumpulan alveoli yang memiliki
kemampuan untuk memproduksi susu. Susu yang diproduksi alveoli akan meningkat
apabila ambing dalam keadaan kosong, sebaliknya susu yang diproduksi alveoli
akan menurun apabila ambing telah terisi penuh. Biosintesis susu yang terjadi
pada ambing meliputi biosintesis protein, lemak dan laktosa. Hal ini sesuai
dengan pendapat Aisyah (2011) yang menyatakan biosintesis susu meliputi
sintesis protein, sintesis lemak dan sintesis laktosa. Bahan baku untuk sintesis protein adalah asam amino
bebas, plasma protein, dan peptide. Protein susu disintesis oleh ambing,
sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan asam
amino. Proses sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol
oleh gen-gen yang mengandung bahan genetik (DNA). Sintesis protein meliputi 3
proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan translasi RNA
menjadi protein. Musnandar (2011) menambahkan pencernaan selulosa dan
hemiselulosa yang banyak terdapat pada hijauan, paling banyak diproduksi oleh
mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian asam propionat. Asam asetat
langsung dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu.
Tiga puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan
untuk sintesis glukosa.
Pengeluaran susu yang telah diproduksi ambing
berawal dari rangsangan yang menyebabkan puting terbuka. Rangsangan yang
diterima sapi dapat diterima dari indera peraba, pengelihatan, dan pendengaran.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sangbara (2011) yang menyatakan bahwa rangsangan
syaraf seperti gerakan pedet menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air
hangat menyebabkan lubang puting susu
terbuka sehingga air susu dari ruang kisterna mengalir keluar. Air susu
mengalir melalui saluran-saluran halus dari gelembung susu ke ruang kisterna
dan ruang puting susu. Pujiati dan Indrianto (2009) menyatakan bahwa rangsangan
yang diberikan pada ambing, akan mendorong hormon oksitosin untuk melepaskan
susu keluar dari alveolus dan duktus–duktus kecil ke dalam tiap–tiap kuartir.
Ilustrasi 4. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu
![]() |
![]() |
4.4. Berat Jenis Susu
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh
data sebagai berikut :
Tabel
6. Berat
Jenis Susu
|
No
|
Parameter
|
Susu Segar
|
Susu Olahan
|
|
1.
|
Waktu Pemerahan
|
05.00 WIB
|
-
|
|
2.
|
Jumlah Susu (ml)
|
450
|
500
|
|
3.
|
BJ susu
|
1,0297
|
1,0216
|
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa berat jenis merupakan salah satu uji yang
digunakan untuk menentukan kualitas dari susu.
Susu segar memiliki berat jenis susu sebesar 1,0297, sedangkan susu UHT
memiliki berat jenis sebesar 1,0216. Berat jenis susu segar berada diatas
standar, sedangkan berat jenis susu UHT berada dibawah standar. Hal ini sesuai dengan pendapat Miskiyah
(2011) yang menyatakan bahwa standar berat jenis susu standar sebesar 1,028. Susu segar memiliki berat jenis lebih besar
dibandingkan dengan susu UHT karena kemungkinan total solid (lemak) pada susu segar lebih rendah dibandingkan
dengan susu UHT yang telah mengalami pengolahan. Semakin tinggi kadar lemak yang terkandung,
akan menyebabkan berat jenis susu semakin menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardalena
(2008) yang menyatakan bahwa berat jenis
susu berbanding terbalik degan jumlah kadar lemak susu, jika kadar lemak susu
tinggi maka berat jenis susu semakin rendah, begitu juga apabila kadar lemak susu
rendah maka berat jenis susu meningkat. Hal
tersebut diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ismanto et al., (2013) yang menyatakan bahwa semakin lama
penyimpanan susu, maka berat jeni susu semakin meningkat.
4.5. Recording
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh data bahwa sapi no. 2031 berjenis
kelamin betina, berumur 4,5 tahun. Awal
laktasi bulan Oktober memproduksi susu 94 liter, bulan November memproduksi 89
liter, bulan Desember memproduksi 73,5 liter dan bulan Januari memproduksi 98 liter
dengan rata-rata produksi 3 – 4 liter/hari. Pada tanggal 3 Februari 2014 pernah sukses melakukan
Inseminasi Buatan dengan no. straw dan
bangsa 306055 / 1000, asal straw Ungaran, Inseminator 7248. Sapi perah yang berada di kandang Fakultas Pertenakan dan
Pertanian menggunakan recording yang
belum baik, semua data yang dimiliki mengenai ternak tidak dilakukan pencacatan dengan rapi,
sehingga data yang diperoleh belum valid. Pencacatan
identifikasi pada
ternak perlu dilakukan dengan mencatat semua data dan informasi yang
bersangkutan dengan sapi
tentang nomor dan
nama ternak, nomor registrasi, tanggal lahir dan jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan pendapat Susilowati
dan Affandy (2004) yang menyatakan bahwa recording
merupakan pecatatan kegiatan yang terdiri dari silsilah keturunan, produktivitas, reproduksi dan kesehatan
reproduksi ternak. Indrijani dan
Anang (2002) menambahkan bahwa recording merupakan salah satu
sistem pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan lebih
sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva produksi
ataupun nilai pemuliaan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Fisiologi lingkungan akan berpengaruh pada fisiologi ternak. Lingkungan yang panas membuat ternak tidak
nyaman sehingga mempengaruhi keadaan fisiologisnya yang berpengaruh terhadap
produksi susu baik kualitas maupun kuantitasnya. Selain fisiologi lingkungan dan fisiologi
ternak, perkandangan yang baik akan memberikan kenyamanan bagi ternak sehingga
produktivitas ternak dapat maksimal. Berat
jenis susu menentukan kualitas baik buruknya susu.
5.2. Saran
Praktikum yang dilakukan seharusnya preparat ambing yang
digunakan diperbanyak sehingga praktikan
dapat lebih mengerti tentang anatomi ambing, sanitasi kandang perlu
ditingkatakan lagi, agar produksi sapi perah dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, A. A. 2009. Pengaruh Umur Terhadap Heat Tolerance
Coeefficient dan Pertambahan Bobot Badan
dengan Pemberian Pakan Serat Kasar Rendah pada
Sapi PFH Jantan (Peranakan Friesian Hollstain Jantan). Universitas Brawijaya, Malang. (Skripsi).
Aisyah
???
Arnold, J. Palulungan, Adiarto, dan Tetik Hartatik. 2013. Pengaruh
Kombinasi Pengkabutan dan Kipas Angin Terhadap Kondisi Fisiologis Sapi Perah
Peranakan Friesian Holland. Buletin Peternakan. 37 (3) : 189-197.
Blakely 1994???????????
Budianto, A. 2012. Respon
Pertumbuhan Sapi Peranakan Fries Holstein (PFH) Jantan Terhadap Pemberian
Berbagai Aras Ampas Bir dalam Pakan Konsentrat. Fakultas Peternakan. Universitas
Diponegoro, Semarang. (Tesis).
Churng-faung lee. 2002. Feeding management and strategies for
lactating dairy cows under heat stress. International
Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA)
August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Dukes, H. 1995.The Physiology of Domestic Animal 7th
edition. Comstock Publishing, Denville.
Embertson, M. N. M.,
P. H.
Robinson, J. G. Fadel and F.
M. Mitloehner. 2009.Effects of shade and sprinklers on
performance, behavior, physiology,and the environment of heifers. J. Dairy
Sci. 92 : 506 – 517.
Ensminger, M.E. 1971. Dairy
Cattle Science. The Interstate Printers
and Publisher. Inc. Danville,Illinois.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi
dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Frandson, R.
D., W. L. Wilke and A.
D. Fails. 2009. Anatomy
and Physiology of Farm Animals.Wiley-Blckwell,
Lowa.
Indrijani, H
dan Anang, A. 2002. Evaluasi genetic produksi susu pada
sapi perah dengan model regresi tetap. J. Ilmu Ternak. 1 : 45-50
Ismanto,
Toto., S. Utami dan H. A. Suratim. 2013. Pengaruh
lama penyimpanan dalam refrigator terhadap viskositas susu kambing pasteurisasi. J. Ilmiah
Peterakan. 1 (1): 69 - 78.
Lawrence,
T.L.J. and V.R. Fowler. 2002. Growth
of Farm Animals. CABI
Publishing. Oxfordshire.
Makin, Moch. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Mardalena,
2008. Pengaruh wakru pemerahan dan tingkat laktasi terhadap kualitas susu sapi
perah peranakan Fries Holstein. J. Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan 11 (3) : 107 – 111.
Miskiyah.
2011. Kajian Standar Nasional Indonesia Susu Cair di Indonesia. J.
Standarisasi. 13 (1) : 88 - 98
Muktar, A. 1997. Ilmu Produksi Ternak Perah. Universitas
Negeri Surakarta Press, Surakarta.
Musnandar???
Nelson, M.
G. 2010. The Complete Guide to Smallscale Farming: EverythingYou
Need to Know about Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,and Other
Small Animals. Atlantic Publishing
Company, Florida
Nurhadi, M. 2010. Dimensi sosiologis dalam upaya meningkatkan
kualitas susu sapi perah (Studi Kasus di KUD Jatinom, Kabupaten Klaten). Jurnal Sosiologi. 25
(2): 79 - 90.
Palulungan, J. A.,
Adiarto dan Hartatik. T. 2013. Pengaruh
kombinasi pengkabutan dan kipas angin terhadap kondisi fisiologis sapi perah
Peranakan Friesian Holstein. Buletin
Peternakan. 37 (3) : 189 – 197.
Prasetya H. 2012. Prospek Cerah Beternak Sapi Perah. Pustaka
Baru Press, Yogyakarta.
Pujianto ???
Robichaud, M.V., A. M. de Passillé, D. Pellerin and J. Rushen.
2011. When and where do dairy
cows defecate and urinate. J. Dairy Sci.
94:4889 – 4896.
Rumetor, S.D. 2003. Stres Panas Pada Sapi Perah Laktasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Rusdiana dan sejati 2009
Sangbara ??/
Sawitri M.E. 2012. Kajian
konsentrasi kefir grain dan lama simpan dalam refrigerator terhadap kualitas
kimiawi kefir rendah lemak. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan. 2
(1) :89-99.
Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Susilowati, T.
Dan Affandy, L. 2004. Tantangan dan Peluang Peningkatan
Produktivitas Sapi Potong Melalui Teknologi Reproduksi. Lokakarya Nasional Sapi Potong.
Suherman,
D., Purwanto, B. P., Manalu, W dan Permana. 2013. Simulasi artificial Neuwork
untuk menentukan suhu kritis pada sapi Fries Holland berdasarkan respon
fisiologis. J. Ilmu Ternak dan Veteriner 18
(1) : 70 – 80.
Sutopo.
2001. Pengaruh Pemberian Pmsg Terhadap Pertumbuhan
Ambing Ban Prqeiiukse Susu Pada Sapi Perah. Universitas Diponegoro, Semarang.
(Tesis)
Syarif dan H. Bagus.
2011. Beternak dan bisnis sapi
Perah. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Talib, C. H., T. Sugiarti
and A. R. Siregar. 2002. Friesian
Holstein and their adaptability to the tropical environment in Indonesia. International Training on Strategies for
Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan
Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan,
Taiwan, ROC.
Utomo, B dan Miranti, D.
P. 2010. Tampilan produksi susu sapi perah yang
mendapat perbaikan manajeman pemeliharaan.
Caraka Tani. 25 (1): 55 - 67.
Vaughan Alison, Anne Marie de Passillé, Joseph Stookey, and
Jeffrey Rushen. 2014. Urination and defecation by group-housed
dairy calves. J. DairySci.
97: 1 – 7
Wagner, P.E. 2001. Heat
Stres on Dairy Cows. J. of Dairy Science. Dairy Franklin Country Publisher,
Nettherland.
Winarso, Djoko. 2008. Hubungan kualitas susu dengan keragaman
genetik dan prevalensi mastitis subklinis di daerah jalur susu Malang sampai
Pasuruan. J. Sain Vet.
26 (2): 58 - 65.
Yani, A. dan B.
P. Purwanto, 2006. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons
Fisiologis Sapi Peranakan Friesian holsteindan Modifikasi Lingkungan untuk
Meningkatkan Produktivitasnya. Media
Peternakan 79 (1) : 35 – 46.
Yani, A. Suhardiyanto., H, Hasbullah. R dan Purwanto. P. B. 2007. Analisis
dan simulasi distribusi suhu udara pada kandang Sapi Perah menggunakan Computational Fluid Dinamics (CFD). Media
Peternakan. 3 (3) : 218 - 228
Lampiran
1. Perhitungan Radiasi Matahari
1.
Pukul 18.00 WIB
BGT =
24,5
R=ᵟT4
= 4,903 x 10-8(24,5 + 273)4
= 384.07 Kcal/m2/jam
2.
Pukul 24.00 WIB
BGT = 24
R=ᵟT4
= 4,903 x 10-8(24 + 273)4
= 381,49 Kcal/m2/jam
3.
Pukul 06.00 WIB
BGT = 24
R=ᵟT4
= 4,903 x 10-8(24 + 273)4
= 381,49 Kcal/m2/jam
4.
Pukul 12.00 WIB
BGT =
28,5
R=ᵟT4
= 4,903 x 10-8(28,5 + 273)4
= 405,14 Kcal/m2/jam
5.
Pukul 18.00 WIB
BGT = 26
R=ᵟT4
= 4,903 x 10-8(26 + 273)4
= 391.87 Kcal/m2/jam
Rata-rata =
388,81 Kcal/m2/jam
Lampiran
2. Perhitungan Berat Jenis Susu
- Susu Segar
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
= 1,030 – (27,5 – 26) x 0,0002
= 1,0297
- Susu UHT
Berat Jenis = Berat jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
= 1,022 – (27,5 – 25,5) x 0,0002
= 1,0216
Lampiran 3. Dokumentasi
Praktikum








